BANKING

Cegah Kebangkrutan, Credit Suisse Dibeli UBS Lebih dari Rp49 Triliun

Kunthi Fahmar Sandy 21/03/2023 08:16 WIB

Meskipun kegagalan bank-bank tersebut tidak terlihat seperti pengulangan krisis keuangan, tapi hal tersebut menunjukkan adanya risiko-risiko penularan.

Cegah Kebangkrutan, Credit Suisse Dibeli UBS Lebih dari Rp49 Triliun (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Para investor ketakutan ketika Credit Suisse dijual dengan harga rendah, selain itu mereka juga telah menjual bank-bank regional AS karena khawatiran akan memiliki neraca keuangan yang mirip dengan keuangan Silicon Valley Bank (SVB).

Kepala ekonom AMP, Shane Oliver, mengatakan bahwa meskipun kegagalan bank-bank tersebut tidak terlihat seperti pengulangan krisis keuangan, tapi hal tersebut menunjukkan adanya risiko-risiko penularan.

Meskipun begitu, bagian lain dari pasar seperti saham-saham teknologi milik Amerika Serikat telah bertahan dengan baik selama beberapa minggu terakhir yang mengindikasikan bahwa beberapa investor memperkirakan ancaman krisis perbankan akan mereda.

Kecepatan informasi melalui media sosial membuat pergerakan harga saham dan kemampuan nasabah untuk menarik simpanan mereka ikut bergerak dengan cepat.

Hanya butuh waktu sekitar 48 jam SVB mengungkapkan bahwa mereka telah menjual portofolio obligasi mereka dengan kerugian dan keruntuhannya. Sementara, dalam kasus Credit Suisse, mereka menerima pinjaman darurat dari bank sentral Swiss minggu lalu sebagai upaya menenangkan pasar, pada akhir pekan bank tersebut akhirnya harus diselamatkan.

Beberapa bank sentral telah mengumumkan sebuah strategi untuk menjaga agar uang tetap mengalir ke seluruh ekonomi global sebagai upaya dalam menangkal krisis kredit yang mencengkeram pasar selama krisis keuangan.

Inisiatif yang dipimpin oleh Federal Reserve AS akan memungkinkan bank-bank sentral lain untuk dengan mudah mendapatkan dolar AS yang dapat didistribusikan ke bank-bank komersial di negara mereka sehingga pada akhirnya mengalir kepada para peminjam, yang membutuhkan akses ke kredit untuk hipotek, bisnis, dan investasi.

Mekanisme untuk melakukan hal tersebut disebut swap line, yakni perjanjian antara dua bank sentral untuk menukar mata uang. Hingga setidaknya pada akhir April, Federal Reserve akan menawarkan swap mata uang harian untuk memastikan bank-bank sentral di Kanada, Inggris, Jepang, Swiss, dan zona euro memiliki dolar AS yang memadai untuk beroperasi guna menghindari krisis kredit.

Bank sentral Australia tidak termasuk dalam inisiatif tersebut karena sektor perbankan negara tersebut cukup kuat meskipun ada masalah yang muncul di AS dan Eropa.

Umumnya bank menggunakan deposito untuk mendukung pinjaman kepada nasabah lain dan untuk berinvestasi sehingga deposito sangat penting untuk operasional. Sementara itu, pemerintah AS turun tangan untuk menjamin semua deposito nasabah SVB dan bank-bank global bersiap untuk menarik dana nasabah.

Saxo Capital Markets mengatakan dalam sebuah catatan bahwa beberapa bank global bergegas untuk menopang likuiditas dengan meminjam dolar AS di tengah kekhawatiran bahwa deposito akan berkurang.

Bank terbesar di Swiss, UBS, akan membeli Credit Suisse dalam sebuah kesepakatan yang didukung oleh pemerintah yang juga menghindari keruntuhan bank-bank besar yang dapat memicu kejatuhan yang lebih luas.

Pembelian di bawah harga pasar yakni senilai hampir USD3,25 miliar atau lebih dari Rp49 triliun tersebut mencakup skema asuransi dari lembaga-lembaga Swiss untuk melindungi potensi kerugian yang mungkin dialami UBS karena mengambil alih sebagian aset-aset Credit Suisse yang berisiko.

Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, menyambut baik kesepakatan yang didukung oleh pemerintah Swiss ini yang menurutnya akan membantu kawasan ini.

"Mereka berperan penting untuk memulihkan kondisi pasar yang teratur dan memastikan stabilitas keuangan," ujar Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa, melalui laman The Guardian, Senin (20/03/2023).

SVB dan Credit Suisse memiliki sedikit kesamaan mengingat perbedaan ukuran, aset, klien, dan bahkan lokasi mereka, yakni nasabah dan investor kehilangan kepercayaan terhadap kedua bank tersebut, yang menyebabkan masalah likuiditas.

"Faktor penghubungnya adalah sentimen," kata profesor Paul Kofman, dekan fakultas bisnis dan ekonomi di University of Melbourne, melalui laman The Guardian, Senin (20/03/2023).

Profesor Paul Kofman, dekan fakultas bisnis dan ekonomi di University of Melbourne mengatakan bahwa hal tersebut berbeda dengan eksposur bersama terhadap investasi seperti hipotek sub-prime yang menghubungkan bank-bank selama krisis keuangan global.

"Credit Suisse tidak terlalu banyak berinvestasi di saham-saham teknologi seperti SVB, tetapi dari sudut pandang investor, ada kelemahan dalam neraca keuangan yang menjadi titik penghubungnya,” jelasnya.

(Penulis Fidya Damayanti magang)

(SAN)

SHARE