Inilah Bank Pertama di Indonesia, Bukan BI atau BNI
Banyak yang mengira bahwa bank pertama di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI). Namun ternyata, BI bukanlah bank pertama yang ada di Tanah Air.
IDXChannel – Banyak yang mengira bahwa bank pertama di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI). Namun ternyata, BI bukanlah bank pertama yang ada di Tanah Air.
Bank dan lembaga keuangan rupanya sudah muncul bahkan sejak sebelum Republik ini berdiri. Lantas, apa bank pertama di Indonesia? Bagaimana sejarah bank di Tanah Air? IDXChannel merangkum informasi lengkapnya sebagai berikut.
Bank Pertama di Indonesia
Dilansir dari laman resmi BI, bank pertama di Indonesia yang pertama kali beroperasi adalah Bank van Courant. Bank pertama di Nusantara ini didirikan untuk menunjang aktivitas perdagangan pada 1746. Bank Van Courant ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.
Selanjutnya, pada 1752 Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini pun memiliki tugas yang lebih kompleks dari sebelumnya yakni memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang pada lembaga ini dengan adanya imbalan berupa bunga.
Pada 1818, Bank van Courant en Bank van Leening harus ditutup karena krisis keuangan yang terjadi kala itu.
Pada 1828, mulailah didirikan De Javasche Bank yang di kemudian hari menjadi cikal bakal Bank Indonesia (BI). Pada masa itu, Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan hak-hak istimewa (Octrooi) kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi.
Hal ini membuat DJB mempunyai kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di kawasan Hindia Belanda. Octrooi ini diperpanjang secara periodik selama 10 tahun sekali. Adapun DJB tercatat telah melakukan tujuh kali perpanjangan Octrooi. De Javasche Bank juga menjadi bank sirkulasi pertama yang ada di Asia.
Dalam rentang 1829-1870, DJB berhasil melakukan ekspansi bisnis dan membuka kantor cabang di beberapa wilayah termasuk Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867).
Ekspansi terus dilakukan hingga rentang 1870-1942. Namun, pada masa Pemerintahan Militer Jepang, DJB akhirnya dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi pun lantas digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).
Selanjutnya, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945), Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). NICA kembali mendirikan DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA untuk mengacaukan ekonomi Indonesia. Namun, Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi sendiri yakni Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai upaya untuk menegakan kedaulatan ekonomi Indonesia.
Pada 1951, ada desakan kuat untuk mendirikan bank sentral untuk menunjukan kedaulatan ekonomi Republik Indonesia (RI). Oleh karena itu, Pemerintah RI pun memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB dan proses nasionalisasi dilakukan dengan membeli saham DJB mencapai 97%.
Pada 1 Juli 1953, Pemerintah RI secara resmi menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia menggantikan DJB Wet Tahun 1922. Sejak saat itu, Bank Indonesia (BI) pun secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.