BANKING

Intip Risalah Terbaru The Fed, Masih Bakal Agresif Kerek Suku Bunga?

Maulina Ulfa - Riset 23/02/2023 15:29 WIB

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) menyampaikan risalah hasil rapat terakhir pada Kamis dini hari waktu Indonesia (23/2/2023).

Intip Risalah Terbaru The Fed, Masih Bakal Agresif Kerek Suku Bunga? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) menyampaikan risalah hasil rapat terakhir pada Kamis dini hari waktu Indonesia (23/2/2023).

The Fed menilai, meskipun ada tanda-tanda inflasi turun, tetapi tidak cukup untuk melawan kenaikan suku bunga lebih lanjut.

Sementara pada 31 Januari hingga 1 Februari lalu pertemuan rutin The Fed diakhiri dengan kenaikan suku bunga yang lebih kecil daripada yang telah diterapkan sejak awal 2022.

Para pejabat The Fed menekankan kekhawatiran mereka terhadap inflasi tinggi.

Risalah itu juga menyatakan Inflasi tetap jauh di atas target Fed 2%.

Kondisi semakin rumit dengan pasar tenaga kerja yang tetap sangat ketat, berkontribusi pada tekanan kenaikan yang berkelanjutan pada upah dan harga.

Akibatnya, The Fed menyetujui kenaikan suku bunga 0,25 poin persentase yang merupakan kenaikan terkecil sejak siklus pengetatan pertama pada Maret 2022. Langkah tersebut membawa suku bunga Fed Fund Rate ke kisaran target 4,5%-4,75%.

Dalam 10 tahun terakhir, ini menjadi kebijakan The Fed yang paling hawkish di mana kenaikan sepanjang 2022 saja cukup signifikan. (Lihat grafik di bawah ini.)

Namun, risalah The Fed terbaru juga mengatakan laju kenaikan suku bunga yang berkurang dibarengi oleh tingkat kekhawatiran yang tinggi bahwa inflasi masih menjadi ancaman.

“Peserta pertemuan The Fed mencatat bahwa data inflasi yang diterima selama tiga bulan terakhir menunjukkan penurunan yang disambut baik dalam laju kenaikan harga bulanan.

Tetapi bukti yang jauh lebih banyak diperlukan untuk yakin bahwa inflasi terus menurun,” ujar rilis resmi The Fed Meeting Minutes, Rabu (22/2).

Hasil risalah memuat pandangan anggota rapat FOMC The Fed bahwa kenaikan suku bunga lebih lanjut akan diperlukan.

Kenaikan 25 bps juga masih menimbulkan perdebatan di kalangan peserta rapat. Disebutkan beberapa anggota menginginkan kenaikan setengah poin, atau 50 basis poin.

Dalam pertemuan The Fed Minutes, presiden regional James Bullard dari St. Louis dan Loretta Mester dari Cleveland mengatakan bahwa mereka termasuk di antara kelompok yang menginginkan langkah yang lebih agresif.

“Para peserta yang mendukung kenaikan 50 basis poin mencatat bahwa kenaikan yang lebih besar akan lebih cepat membawa inflasi kembali ke target, dengan mempertimbangkan pandangan mereka tentang risiko untuk mencapai stabilitas harga secara tepat waktu,” imbuh risalah tersebut.

Wait and See, The Fed Masih Kemungkinan Hawkish

Sejak pertemuan tersebut, para pejabat The Fed telah menekankan perlunya tetap waspada meski mengungkapkan optimisme bahwa data inflasi terakhir cukup menggembirakan.

Sebelumnya, inflasi AS dilaporkan sedikit melambat menjadi 6,4% pada Januari 2023 dari sebelumnya 6,5% pada Desember.

Namun, angka inflasi ini meleset dari perkiraan pasar sebesar 6,2%. Meski demikian, ini merupakan angka inflasi terendah sejak Oktober 2021. 

Angka inflasi terbaru menjadi bukti bahwa pasar pekerjaan AS masih cukup kuat. Pada Januari, AS menambahkan lebih dari 500 ribu pekerjaan baru, kira-kira tiga kali lipat jumlah yang diperkirakan para ekonom.

Kekuatan pasar tenaga kerja ini telah membuat khawatir beberapa pejabat The Fed. Mereka khawatir pasar tenaga kerja yang ketat akan menyebabkan kenaikan upah dan akan memicu tekanan inflasi.

Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam pernyataannya beberapa waktu lalu sempat mengatakan lonjakan inflasi yang paling parah di alami AS dalam beberapa dekade telah mereda.

Namun, awal bulan ini ia mengindikasikan bahwa bank sentral akan terus menaikkan suku bunga karena berjuang untuk mengembalikan kenaikan harga ke tingkat target The Fed 2%.

Kondisi inflasi AS yang di bawah ekspektasi para ekonom ini juga masih dipandang problematik.

"Itu bisa saja lebih buruk. Terjadi penurunan harga mobil bekas dan tiket pesawat. Namun, selama biaya perumahan naik secepat sebelumnya, akan sulit untuk menurunkan inflasi berdasarkan target The Fed." kata Stephen Stanley, kepala ekonom AS di Santander US Capital Markets LLC, dikutip Bloomberg, Selasa (14/2).

Mengutip Bloomberg, jalan menuju harga yang stabil kemungkinan besar akan panjang dan bergelombang.

Ketika dikombinasikan dengan ledakan serapan pekerjaan pada Januari dan tanda-tanda ketahanan konsumen yang bertahan lama, kondisi ini akan meningkatkan daya tahan ekonomi dan tekanan harga, meskipun kebijakan The Fed sudah agresif. (ADF)

SHARE