Jaga Likuiditas, Bank Digital Berebut Kue DPK Perbankan Nasional
tantangan besar menghadang perkembang bank digital nasional, yaitu terkait kemampuannya dalam bertahan, yang salah satunya bisa didapat dari porsi dana murah.
IDXChannel - Membincang dinamika bisnis perbankan sepanjang 2023 tentu tak bisa mengesampingkan geliat kemunculan bank-bank digital dalam ceruk industri jasa keuangan nasional.
Semakin berkembangnya teknologi informasi (TI) yang tersedia dan juga kian optimalnya konektifitas internet membuat sejumlah pihak mencoba mencari cara dalam mengatasi persoalan masih minimnya akses perbankan di masyarakat.
Solusinya, bermunculan lah bank digital, bersamaan juga dengan layanan keuangan digital lain, seperti peer to peer (P2P) landing, platform berinvestasi, layanan pinjaman online (pinjol) dan lain sebagainya.
Semula, hadirnya bank-bank digital ini tentu disambut baik oleh masyarakat, lantaran sukses mempermudah akses keuangan, terutama layanan perbankan, yang semula dikenal rumit dan take time, kemudian menjadi sangat mudah dalam satu genggaman.
Namun, seiring waktu berjalan, tantangan besar menghadang perkembang bank digital nasional, yaitu terkait kemampuannya dalam bertahan, yang salah satunya bisa didapat dari porsi dana murah terhadap perolehan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didapat dari masyarakat.
Sebagaimana diketahui, dalam ilmu perbankan, rasio dana murah (Cureent Account Saving Account/CASA) bisa dianggap sebagai faktor krusial yang cukup menentukan bagi sebuah lembaga perbankan untuk dapat bertahan, dan berkembang.
Semakin besar porsi dana murah terhadap DPK, maka potensi pertumbuhan kinerja bank akan semakin baik, karena biaya dana yang harus dikeluarkan menjadi cukup rendah, atau bisa ditekan.
Sebaliknya, bila DPK sebuah perbankan lebih didominasi oleh dana mahal, maka biaya dana yang harus dirogoh menjadi semakin membengkak, sehingga membuat dana yang bisa digunakan untuk ekspansi jadi berkurang.
Karenanya, sebagai pendatang baru di industri, kemampuan bank digital dalam meraup dana murah dari masyarakat tentu sangat dibutuhkan.
Tidak hanya harus berebut dengan sesama bank digital, persaingan juga harus dilakukan dengan bank-bank konvensional yang selama ini telah menguasai perolehan dana murah dari masyarakat.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia per September 2023, total Dana Pihak Ketiga (DPK) industri perbankan nasional tercatat mencapai Rp8.147,17 triliun, di mana sebanyak 61,97 persen di antaranya didapat dari kontribusi dana murah.
Secara lebih rinci, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat bahwa Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) I, sukses mengumpulkan DPK sebesar Rp990,57 triliun, dengan rasio dana murah (CASA) sebesar 45,03 persen.
Berikutnya, KBMI II sukses meraup DPK sebesar Rp926,22 triliun, dengan komposisi CASA sebesar 49 persen. Lalu kemudian KBMI III berhasil mengantongi DPK sebesar Rp1.984,07 triliun, dengan porsi CASA mencapai 52,77 persen.
Dan terakhir, KBMI IV yang beranggotakan bank-bank 'jumbo', mampu menghimpun DPK mencapai Rp4.246,3 triliun, dengan porsi CASA hingga 73,04 persen.
Dari data tersebut nampak jelas terlihat bahwa kemampuan meraup dana murah tertinggi masih dimiliki oleh kelompok bank-bank besar.
Hal ini pantas terjadi lantaran tingkat kepercayaan terhadap bank besar bisa dianggap relatif tinggi, sehingga masyarakat tak ragu untuk menempatkan dananya di bank tersebut.
Sebaliknya, tingkat kepercayaan terhadap bank-bank kecil cenderung tipis, lantaran masyarakat akan cukup khawatir bahwa dana yang ditempatkan di sana bakal aman.
Nasib ini juga dirasakan betul oleh bank-bank digital. Premis ini terkonfirmasi oleh data keuangan sejumlah bank digital hingga triwulan III-2023 lalu, di mana porsi CASA yang dimiliki oleh sebagian bank digital masih berada di bawah 30 persen.
Sebut saja PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang dari total DPK yang terhimpun sebesar Rp4,89 triliun, rasio CASA yang dimiliki hanya sebesar 12,96 persen saja.
Lalu PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) yang dalam sembilan bulan pertama tahun ini mampu mengantongi DPK sebesar Rp15,3 triliun, namun dengan porsi dana murah yang masih sebatas 27,04 persen.
Sama halnya yang juga dialami oleh PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO), di mana dari total DPK sebesar Rp7,07 triliun, porsi CASA-nya masih sebatas 25,03 persen.
Terkait tren minimnya porsi CASA yang didapat, dikonfirmasi oleh Pejabat Sementara (Pjs) Direktur Utama BBYB, Aditya Windarwo, yang mengakui bahwa pada awalnya nasabah berminat menggunakan aplikasi Neobank lantaran tertarik oleh bunga deposito yang cukup kompetitif.
"Ini yang membuat porsi dana mahal jadi cukup besar di kami. Tapi seiring waktu, nasabah makin sadar fitur dan layanan yang kami punya semakin lengkap, sehingga sangat membantu dalam bertransaksi sehari-hari," ujar Aditya.
Hal serupa juga dikonfirmasi oleh AGRO, yang notabene merupakan bagian dari entitas bisnis di bawah naungan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Dalam mengembangkan bisnisnya, AGRO mengandalkan ekosistem BRI Group, PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) sembari mengandalkan inovasi produk, seperti fitur Saku Jaga Optimal di aplikasi Raya.
Persaingan sengit dalam memperebutkan dana murah juga diamini oleh Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan.
Menurut Trioksa, di tengah tren likuiditas yang mengetat di industri perbankan nasional, mendorong lembaga perbankan untuk berjibaku memperebutkan DPK yang ada di masyarakat.
Imbasnya, jurus sakti yang kerap dipilih adalah dengan bertarung dalam hal bunga deposito, sehingga mau tak mau mendongkrak biaya dana berupa beban bunga yang semakin meninggi.
"Ini memang jadi pilihan sulit, karena kalau bicara soal CASA, butuh waktu yang tidak sedikit untuk membangun kepercayaan di masyarakat. Jadi mau tak mau, untuk berebut DPK, maka dana mahal adalah jawabannya," ujar Trioksa, dalam kesempatan terpisah.
Karenanya, untuk memutus rantai permasalahan tersebut Trioksa mendorong bank-bank digital untuk lebih cerdik dalam berinovasi untuk dapat merangkul nasabah ritel, sehingga masyarakat tertarik untuk menempatkan dananya.
"Harus ada program-program yang menarik, yang inovatif, yang mendorong masyarakat menempatkan dananya, selain dengan iming-iming bunga. Kalau itu bisa dilakukan, secara perlahan porsi CASA bisa terkerek naik," tegas Trioksa. (TSA)