BANKING

Menatap Senjakala Pedagang Angkringan Gultik di Bulungan

taufan sukma 28/04/2024 21:24 WIB

konsep berjualan gule tersebut dibikin seperti angkringan khas Jogja, yaitu dijual di atas trotoar pinggiran jalan, dengan para pembelinya duduk melingkar.

Menatap Senjakala Pedagang Angkringan Gultik di Bulungan (foto: MNC Media)

IDXChannel - Sosok filsuf yang merupakan salah satu pencetus konsep negara republik, Cicero, mencoba mengingatkan masyarakat tentang konsep sosial dengan kalimat masterpiecenya, "Solum nati sumus non nobis (Kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri)."

Meski tentu Purnomo tak mengenal, dan mungkin bahkan tidak pernah mendengar nama Cicero, namun semangat yang coba diajarkan Sang Filsuf sepertinya sejalan dengan prinsip hidup yang dianut oleh pria asli Solo tersebut.

"Saya itu prinsipnya (dalam hidup) yang penting sareh (tenang), sumeleh (pasrah). Karena hidup, rezeki, itu semua sudah diatur. Jadi kalau hidup itu ngoyo (memaksakan diri) banget gitu, apa sih yang mau dikejar?" ujar Purnomo, saat ditemui di Angkringan Gultik miliknya, di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.

Sempat Viral

Bagi masyarakat yang belum tahu, istilah gultik merupakan singkatan dari Gule Tikungan, yang merujuk pada lapak penjual makanan gule, yang sehari-harinya berjualan di tikungan depan SMA 6 Jakarta.

Yang menarik, konsep berjualan gule tersebut dibikin seperti angkringan khas Jogja, yaitu dijual di atas trotoar pinggiran jalan, dengan para pembelinya duduk melingkar menggunakan kursi plastik.

"Yang kasih nama Gule Tikungan itu juga anak-anak SMA 6 sendiri. Jadi tempat tongkrongan buat mereka setelah pulang sekolah. Dan gule yang dijual itu pake resep citarasa khas Solo, karena penjualnya orang Solo. Itu kenapa konsep jualannya juga khas, ala angkringan. Itu ciri khasnya," tutur pria bernama lengkap Purnomo Setiawan ini.

Menurut Purnomo, keberadaan Angkringan Gultik mulai ramai sejak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengubah Taman Barito, yang semula tempat berkumpulnya penjual bunga dan ikan, menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan diberi nama Taman Ayodya.

Program restrukturisasi tersebut dilakukan Pemprov DKI Jakarta pada awal 2008 silam. Meski sempat menimbulkan pro dan kontra, masyarakat pada akhirnya menerima kebijakan tersebut, karena turut senang dengan adanya opsi ruang publik baru, yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi.

"Sejak ada Taman Ayodya tuh, dagangan Gultik mulai rame, karena banyak orang maen ke taman, terus cari makannya ke kita. Saat itu saya masih jadi karyawan (di Angkringan Gultik). Ikut orang," ungkap Purnomo.

Menjamur

Sejak saat itu, dalam waktu yang tak cukup lama, banyak pedagang-pedagang Gultik baru yang ikut berjualan di sepanjang kawasan Barito, Melawai hingga Bulungan. Termasuk juga Purnomo yang memutuskan untuk membuka Angkringan Gultik miliknya sendiri, persis di depan SMA 70 Jakarta, di kawasan Bulungan.

Keputusan untuk membuka Angkringan Gultik sendiri, menurut Purnomo, sengaja dia ambil karena ingin bekerja kantoran, demi harapan dapat memperbaiki perekonomian keluarga menjadi lebih baik.

Terlebih, Sang Nenek yang selama ini membesarkan Purnomo dan tinggal di Solo, mulai sakit-sakitan, sehingga membutuhkan biaya untuk rutin memeriksakan diri ke rumah sakit.

"Jadi saya kerja jadi security di TransCorp, sedangkan Angkringan Gultiknya saya bayar orang untuk mengelola. Nanti hasil jualan dipotong dengan belanja bahan, juga untuk menggaji yang jualan, baru sisanya disetor ke saya, seminggu sekali. Lumayan, dapat sekitar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu seminggu," papar Purnomo.

Keuntungan yang hanya ratusan ribu rupiah per minggu, menurut Purnomo, tak lepas dari sudah begitu menjamurnya pedagang Gultik yang ada di kawasan Bulungan tersebut.

Sang Nenek

Meski begitu, Purnomo mengaku tetap bersyukur, lantaran keuntungan dari bisnis Gultik tersebut bisa untuk menambahi gajinya sebagai security, sekaligus sebagian juga dikirim untuk ongkos pengobatan Sang Nenek.

Namun, seiring kondisi nenek yang semakin memburuk, Purnomo pun terpaksa harus makin sering bolak-balik Jakarta-Solo-Jakarta hanya demi mengurusi sosok yang disebutnya sangat berjasa dalam hidupnya tersebut.

"Beliau yang merawat saya dari kecil sampai dewasa, jadi saat ini giliran saya yang balas budi, merawat Beliau semaksimal mungkin. Bahkan saya sampai putuskan resign, biar bisa sering mudik ngurusin Mbah," jelas Purnomo.

Sayang, meski Purnomo telah berupaya maksimal, sosok orang tua yang dicintai tersebut pada akhirnya meninggal, karena usia yang juga sudah sedemikian sepuh.

Sejak saat itu, karena tak ada lagi yang harus diurusi di kampung halaman, Purnomo pun memutuskan untuk secara penuh mengurusi bisnis Gultik yang telah dirintisnya sejak 2008 lalu.

"Akhirnya, karena sudah resign juga, ya sudah saya full ngurus Gultik ini. Cuma karena penjual kan semakin banyak, makin hari makin bertambah. Apalagi pas COVID-19 dulu, banyak orang kehilangan pekerjaan, sehingga ikut jualan (Gultik), jadi makin rame lagi. Sehingga saya mulai berpikir, gimana agar bisa bertahan, tanpa harus saling mematikan bisnis masing-masing," urai Purnomo.

Kerja Sama

Dengan semangat tidak saling mematikan tersebut, Purnomo pun berinisiatif untuk mulai bersinergi dengan sejumlah temannya sesama pedagang Gultik untuk membuka lapak Angkringan Gultik bersama.

Hingga saat ini, dengan inisiatif tersebut, Purnomo pun memiliki sedikitnya empat lapak Angkringan Gultik yang dikelola secara bersama-sama dengan tiga temannya. Selain itu, Purnomo juga masih memiliki satu lagi Angkringan Gultik yang dimilikinya secara penuh, namun tetap dikerjasamakan dengan dikelola oleh pihak lain.

"Jadi konsepnya bergantian hari jualan setiap seminggu sekali. Misal seminggu ini jatah saya jualan, minggu depan teman saya, minggu depannya lagi teman yang satunya lagi, gitu. Boleh jualan sendiri atau pun bayar orang, terserah. Tapi keuntungan di seminggu itu adalah haknya yang sedang dapat giliran tadi," tukas Purnomo.

Dari keempat Angkringan Gultik yang dikerjasamakan plus satu angkringan milik sendiri tersebut, Purnomo mengaku bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp4 juta hingga Rp5 juta dalam seminggu.

Namun, Purnomo kembali menegaskan bahwa keuntungan sebesar itu tidak bisa didapatkannya secara rutin setiap minggu, karena harus berganti-gantian dengan ketiga temannya.

Meski demikian, ditambah dengan pemasukan dari bisnis lain, seperti berjualan minuman dan aneka sate baceman, seperti satu telur, usus, dan ati ampela, Purnomo mengaku masih bisa mengantongi cuan secara rata-rata sekitar Rp15 juta sampai Rp16 juta per bulan.

Konsep berganti-gantian berjualan tersebut, dirasa Purnomo lebih solutif ketimbang masing-masing pedagang harus membuka lapaknya sendiri. Karena selain modal yang dibutuhkan jauh lebih mahal, dampaknya bagi pedagang lain juga buruk, karena penjual Gultik di kawasan tersebut menjadi demikian banyak, sehingga malah merugikan.

Senjakala

Situasi yang dihadapi Purnomo dan para pedagang Gultik tersebut, pada dasarnya dapat dijelaskan melalui teori dan pendekatan industri. Dalam ilmu ekonomi, dinamika sebuah aktivitas industri kerap dianalogikan dengan siklus terbit dan tenggelamnya matahari.

Secara teori, ada istilah sunrise industry yang digunakan untuk menyebut sektor industri yang sedang berkembang pesat, atau dalam fase keemasan. Laksana matahari terbit (sunrise), banyak harapan yang layak disematkan pada sektor industri tersebut.

Sebaliknya, ada pula istilah sunrise industri untuk menjelaskan sektor-sektor industri yang dinilai telah 'habis' masa keemasannya. Layaknya mataahari tenggelam (sunset) saat senja, potensi bagi perkembangan industri ini juga mulai memudar dan tak lagi bisa diharapkan.

"Makanya saya bilang, masa keemasan dari bisnis Gultik ini sebenarnya, menurut saya, sudah cenderung turun, dengan penjualnya yang sudah terlalu banyak. Sehingga masing-masing juga dapat untungnya cuma kecil. Tinggal kemudian siapa yang bisa bertahan, dan yang nggak (bisa bertahan)," papar Purnomo.

Kluster BRI

Berbekal kesadaran tersebut, Purnomo pun berinisiatif untuk mulai mengumpulkan sejumlah temannya sesama pedagang Gultik ke dalam satu kluster industri Gultik Bulungan.

Kluster tersebut berada di bawah pembinaan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), atau Bank BRI. Pada saat yang sama, Purnomo juga mengajukan pinjaman permodalan ke Bank BRI sebesar Rp100 juta, dengan masa pinjaman (tenor) selama dua tahun.

Pinjaman tersebut didapatkan Purnomo melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digagas oleh pemerintah, dan didistribusikan ke masyarakat melalui bank-bank yang telah ditunjuk. Termasuk juga Bank BRI.

"Baru banget (saya) mengajukan(KUR)nya. Termasuk juga untuk kluster ini, saya juga baru ajukan sejumlah bantuan, baik untuk beli alat-alat masak baru, ataupun mengganti alat lama yang sudah rusak. Oleh pihak BRI-nya masih sedang diproses," tandas Purnomo.

Selain tentunya berharap adanya kucuran dana bantuan, Purnomo juga berharap dari kolaborasi bersama BRI lewat sistem kluster ini, dia dan kawan-kawannya sesama pedagang Gultik bisa mengembangkan pasar, sehingga tidak hanya bergantung pada pembeli yang datang ke kawasan Bulungan.

Selain itu, Purnomo juga berharap pihak BRI dapat membantunya melalui berbagai pelatihan yang bisa dimanfaatkannya dalam mengembangkan usaha, seperti misalnya pelatihan strategi marketing, cara berjualan online dan beragam ilmu baru, yang diyakini Purnomo bakal sangat berguna bagi dirinya dan teman-teman di Kluster Pedagang Gultik Bulungan.

"Misalnya saja ada pesanan dari BRI-nya. Lalu dari sana, ada banyak yang kenal terus order (makanan)n juga ke kita, gitu. Intinya biar Gultik Bulungan ini makin dikenal, sehingga bisnis bisa makin berkembang, gitu. Insya Allah bisa, pelan-pelan kita wujudkan," tegas Purnomo.

Pagu 2024

Menyimak kisah Purnomo yang sibuk bertahan di tengah usaha Gultiknya yang dirasa telah memasuki fase 'senjakala', keberaan KUR BRI pun seolah menjadi salah satu jalan keluar (exit plan) atas kondisi tersebut.

Dengan mengandalkan Program Kluster BRI dan juga suntikan dana permodalan dari KUR, Purnomo dan teman-teman sesama pedagang Gultiknya seolah mendapatkan harapan baru, agar bisnisnya kembali 'cerah' dan berkembang maksimal.

Berkaca pada kisah Purnomo, seolah semakin memperpanjang catatan atas besarnya kontribusi Program KUR dalam membantu para pelaku Usaha Mikro, kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia untuk dapat mengembangkan bisnis, sekaligus meraih mimpi-mimpinya.

Karenanya, pemerintah pun tak ragu untuk terus memaksimalkan pengalokasian anggaran negara, guna menopang pelaksanaan Program KUR secara nasional.

Seperti halnya pada 2024 ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian telah memasang target penyaluran hingga mencapai Rp300 triliun sampai akhir tahun.

Dari total target tersebut, BRI sebagai salah satu bank penyalur telah diberikan jatah pagu hingga Rp165 triliun. Dengan pagu tersebut, BRI tercatat sebagai bank penyalur KUR terbesar secara nasional.

"Kami berkomitmen penuh untuk dapat memenuhi target tersebut sebagai bentuk konkret dukungan perusahaan atas pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia," ujar Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari, dalam kesempatan terpisah.

Menurut Supari, pihaknya optimistis bahwa target tersebut cukup realistis untuk dipenuhi, mengingat telah tersedianya infrastruktur perusahan secara memadai.

Terlebih, BRI disebut Supari juga telah memiliki sumber pertumbuhan baru melalui Ekosistem Ultra Mikro bersama Pegadaian dan PNM. 

"Dari sisi infrastruktur, saat ini kami telah memiliki BRISPOT yang terus dioptimalisasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan tenaga pemasar (mantri). Lalu, kami juga akan mengoptimalkan potensi dari ekosistem model bisnis baru seperti PARI dan Localoka," tutur Supari.

Di sepanjang 2023 lalu, BRI tercatat berhasil merealisasikan penyaluran Program KUR hingga Rp163,3 triliun. Nominal penyaluran sebesar itu disalurkan kepada sedikitnya 3,5 juta debitur.

"Penyaluran (KUR) mayoritas dari sektor produksi, dengan kontribusi mencapai 57,38 persen terhadap total nilai yang terealisasi," tegas Supari. (TSA)

SHARE