OJK Waspadai Risiko Kredit Macet Akibat Tarif Trump, Pelototi Industri Padat Karya
OJK waspadai potensi meningkatnya kredit bermasalah sebagai dampak dari kebijakan tarif impor AS.
IDXChannel - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewaspadai potensi meningkatnya kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) sebagai dampak dari kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS). Kebijakan tersebut berisiko menekan kinerja ekspor nasional, khususnya dari sektor industri padat karya.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar mengatakan, koordinasi lintas lembaga yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di bawah pimpinan Airlangga Hartarto telah dilakukan untuk meminimalkan dampak langsung dari kebijakan tarif AS.
Namun dari sisi OJK, perhatian utama juga diarahkan pada sektor-sektor yang paling rentan terhadap tekanan tersebut.
“Yang tidak kalah penting adalah menjaga ketahanan industri, terutama sektor-sektor, seperti tekstil dan produk tekstil, garmen, alas kaki, elektronik, furnitur, mainan, serta makanan dan minuman,” ujar Mahendra menjawab pertanyaan iNews Media Group dalam konferensi pers Hasil Rapat KSSK, Kamis (24/4/2025).
Sektor-sektor ini diketahui memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor ke pasar AS, sehingga berpotensi menghadapi tekanan likuiditas dan risiko gagal bayar.
OJK bersama kementerian terkait terus memantau kebutuhan pembiayaan industri-industri tersebut, sekaligus mendorong terciptanya iklim usaha yang lebih sehat melalui pengurangan biaya ekonomi tinggi dan perlindungan terhadap pasar dalam negeri dari produk impor ilegal.
“Langkah-langkah terpadu ini kami yakini bisa mengurangi bahkan meniadakan risiko terhadap kondisi pembiayaan, termasuk NPL,” ujar Mahendra.
Mahendra menambahkan, pasar domestik dan alternatif pasar ekspor di negara lain dapat menjadi substitusi selama proses negosiasi tarif masih berlangsung.
Dengan demikian, jika negosiasi dengan AS berhasil, hal ini justru dapat meningkatkan daya saing industri nasional dan memperkuat posisi mereka dalam pasar global.
Dalam kesempatan yang sama, Mahendra memastikan, stabilitas sektor jasa keuangan nasional tetap terjaga meski di tengah meningkatnya ketidakpastian global. Hal ini didukung oleh permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, serta profil risiko yang manageable.
Kinerja intermediasi perbankan pun tercatat positif, dengan pertumbuhan kredit sebesar 9,16 persen year-on-year (yoy) pada Maret 2025 menjadi Rp7.908,4 triliun.
Pertumbuhan tersebut didorong oleh lonjakan Kredit Investasi sebesar 13,36 persen yoy, disusul Kredit Konsumsi 9,32 persen yoy, dan Kredit Modal Kerja 6,51 persen yoy. Kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL gross di angka 2,17 persen dan NPL net sebesar 0,80 persen.
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 4,75 persen yoy menjadi Rp9.010 triliun, dengan giro, tabungan, dan deposito masing-masing mencatatkan pertumbuhan 4,01 persen, 7,74 persen, dan 2,89 persen yoy.
Ketahanan perbankan juga ditopang oleh rasio permodalan yang tinggi, dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) tercatat sebesar 25,43 persen.
Rasio likuiditas perbankan juga sangat memadai, yakni Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) sebesar 116,05 persen dan Alat Likuid terhadap DPK (AL/DPK) sebesar 26,22 persen, jauh di atas ambang batas minimal yang ditetapkan.
(Fiki Ariyanti)