BANKING

Paradoks Perbankan Syariah Nasional, Potensi Besar Yang Tak Kunjung Termaksimalkan

Taufan Sukma Abdi Putra 30/12/2024 11:11 WIB

industri perbankan syariah Malaysia mampu mengamankan 37 persen dari total keseluruhan kinerja perbankan.

Paradoks Perbankan Syariah Nasional, Potensi Besar Yang Tak Kunjung Termaksimalkan (foto: MNC media)

IDXChannel - "We live in a world where facts are never enough (Kita hidup di dunia di mana fakta saja tidak akan pernah cukup)."

Kalimat kontemplatif tersebut pernah disampaikan oleh pemikir asal Jerman-Amerika, Hannah Arendt, terkait dinamika perubahan sosial-politik yang senantiasa dalam satu komunal masyarakat.

Kalimat tersebut, boleh jadi, bisa menggambarkan dengan tepat tentang realita yang terjadi di industri perbankan syariah di Indonesia yang telah terjadi dalam bertahun-tahun ke belakang.

Sebagaimana kita tahu, sejumlah pihak sejak lama telah meyakini bahwa pasar keuangan syariah nasional memiliki potensi yang demikian besar, tak terkecuali di dalamnya juga termasuk industri perbankan syariah.

Keyakinan tersebut didasarkan pada fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, yaitu mencapai 236 juta jiwa, dari total 281,6 juta jiwa penduduk Indonesia keseluruhan.

Namun, seperti yang dikatakan Arendt, modal fakta saja tidak akan cukup bagi para pelaku industri perbankan syariah untuk dapat mendominasi ceruk pasar perbankan nasional secara umum. 

Hal ini terkonfirmasi oleh data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2024, di mana seluruh aset perbankan syariah dalam negeri secara akumulatif, yang mencapai Rp919,83 triliun, baru setara dengan 7,44 persen dari total aset perbankan nasional.

Padahal, capaian tersebut terhitung telah meningkat sebesar 10,56 persen dari total aset perbankan syariah domestik pada periode sama tahun sebelumnya.

Capain tersebut disumbang oleh 13 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS) yang selama ini telah eksis dan beroperasi di pasar Indonesia.

Sayang, dari jumlah pemain sebanyak itu, secara mayoritas para pelaku perbankan syariah Tanah Air masih memiliki aset yang relatif 'mini'. Berdasarkan data, 11 BUS dan 17 UUS yang ada hanya memiliki aset di bawah Rp 40 triliun.

Satu-satunya bank syariah yang sejauh ini menjadi penopang total aset secara nasional yaitu PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), atau BSI, dengan nilai aset mencapai Rp371 triliun, sekaligus satu-satunya bank syariah domestik dengan nilai aset di atas Rp 100 triliun.

"Yang memprihatinkan, dengan potensi yang demikian besar itu, kita bahkan kalah dengan Malaysia, yang notabene jumlah penduduknya hanya 34 juta, satu per sembilan dari jumlah penduduk Indonesia," ujar Penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) Indef, Abdul Hakam Naja, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (27/12/2024).

Dengan berbekal potensi pasar yang sangat jomplang dibanding Indonesia tersebut, menurut Abdul, Malaysia juga memiliki Maybank Islamic, yang total asetnya mencapai Rp1.000 triliun. Lalu juga ada CIMB Islamic dengan nilai aset mencapai Rp605,27 triliun.

Dengan kekuatan aset sebesar itu, industri perbankan syariah Malaysia mampu mengamankan 37 persen dari total keseluruhan kinerja perbankan di Negeri Jiran tersebut.

Karenanya, dengan melihat peta persaingan yang miris tersebut, OJK kini tengah mendorong industri perbankan syariah nasional untuk dapat secara bertahap mendongkrak nilai aset, baik melalui investasi secara organik maupun lewat skema konsolidasi.
 
Dengan pendekatan strategi demikian, OJK berharap ke depan dapat muncul bank syariah di Indonesia dengan nilai aset cukup jumbo, setidaknya hingga mencapai Rp200 triliun.

Dengan nilai aset yang besar, perbankan syariah diharapkan dapat lebih leluasa dalam berinovasi, sehingga dapat lebih mengolah dan memaksimalkan besarnya potensi pasar yang ada di masyarakat, sehingga tidak lagi menjadi potensi mubadzir tanpa eksekusi berarti, seperti yang selama ini terjadi.

Masih demikian besar dan terbukanya potensi pasar di masyarakat, diakui oleh para pelaku industri perbankan syariah domestik. Seperti yang disampaikan oleh PT Bank BCA Syariah.

Menurut Direktur BCA Syariah, Pranata, pihaknya telah menyiapkan sejumlah strategi pengembangan yang bakal dilakukan di 2025, dengan lebih banyak berfokus pada perluasan jangkauan layanan di dalam negeri.

Meski terkesan klise, namun upaya perluasan tersebut sejauh ini dinilai masih sangat dibutuhkan, seiring dengan masih luasnya potensi pasar syariah yang belum termaksimalkan di masyarakat.

"Kami fokus untuk terus melanjutkan program modernisasi teknologi, sebagai upaya senantiasa menghadirkan layanan transaksi perbankan yang mudah dan aman, dengan menyempurnakan dan melengkapi fitur aplikasi BSya," ujar Pranata, dalam keterangan resminya.

Menurut Pranata, aplikasi BSya yang telah resmi dirilis pada Agustus 2024 lalu tersebut telah dilengkapi dengan berbagai fitur unggulan, seperti tarik tunai tanpa kartu, top up Flazz, transfer ke Virtual Account BCA, setoran biaya haji secara online hingga pengajuan pembiayaan emas secara online.

Tak hanya itu, Pranata menjelaskan, pihaknya juga terus aktif dalam mempromosikan beragam program menarik, seperti cashback transaksi di merchant-merchant kerjasama dan hadir di event-event besar, seperti BCA Expo, FinExpo dan berbagai macam kegiatan besar lainnya.

"Ini semua sengaja kami dorong demi meningkatkan minat masyarakat dalam menjalin hubungan perbankan dengan BCA Syariah dan menciptakan customer engagement yang kuat," ujar Pranata.

Namun demikian, Pranata juga mengakui bahwa di balik beragam program promosi dan berbagai strategi penguatan layanan tersebut, industri perbankan syariah nasional sejauh ini masih menyisakan tantangan besar dalam hal tingkat literasi masyarakat yang masih minim terkait perbankan syariah, dan bahkan tentang ekonomi dan keuangan syariah secara lebih luas.

Tantangan besar inilah, yang menurut Pranata, menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para pelaku perbankan syariah Tanah Air, agar pangsa pasar industri bank syariah dapat terus berkembang, dan dapat mengimbangi pasar perbankan domestik yang sejauh ini sangat mendominasi.

"Kami terus konsisten untuk secara aktif melakukan berbagai kegiatan edukasi ke segmen pelajar, mahasiswa, pelaku UMKM maupun ke masyarakat umum, baik secara langsung tatap muka maupun online melalui sosial media. Dari tahun ke tahun, baik secara frekuensi maupun jumlah peserta edukasi terus kami tingkatkan," ujar Pranata.

PR besar yang menjadi tantangan tersebut diamini oleh Corporate Secretary Division Head Bank Mega Syariah, Hanie Dewita.

Dalam kesempatan terpisah, Hanie menyebut bahwa industri perbankan syariah nasional selama ini dihadapkan pada sejumlah tantangan besar. Salah satunya yaitu masih minimnya pemahaman dan minat masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan syariah.

Minimnya pemahaman dan minat tersebut, menurut Hanie, terjadi lantaran sudah demikian lama masyarakat Indonesia familiar dan nyaman dengan layanan perbankan konvensional. Hal ini tak lepas dari penguasaan pasar perbankan konvensional  di Indonesia yang sangat dominan, hingga mencapai lebih dari 90 persen secara keseluruhan.

"Tapi, dengan beragam tantangan besar tersebut, kami justru melihatnya secara positif, bahwa masih tersedia banyak sekali ruang bagi industri bank syariah, termasuk kami, untuk tumbuh dan berkembang lebih maksimal lagi ke depan," ujar Hanie.

Masih sangat terbatasnya pemahaman dan minat masyarakat terhadap industri perbankan syariah tersebut juga diakui oleh Kepala Center for Sharia Economic Development Indef, Nur Hidayah.

Kondisi faktual di lapangan tersebut, menurut Nur, berkelindan dengan fakta kurang optimalnya pengembangan potensi industri syariah di dalam negeri.

Klaim tersebut didasarkan Nur pada fakta bahwa Indonesia sejauh ini tercatat sebagai negara pengimpor terbesar keempat di Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam memenuhi kebutuhan industri halalnya.

Padahal, berdasarkan State of the Global Islamic Economy (SGIE) report 2023/2024, Indonesia menempati posisi kedua pada sektor makanan halal, posisi ketiga fesyen muslim, kelima farmasi dan kosmetik halal, dan keenam pada sektor media dan rekreasi halal.

"Jadi posisinya adalah bahwa kebutuhan (produk syariah) itu ada dan besar, namun Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi tersebut dan masih bergantung pada pasokan produk halal dari negara lain," ujar Nur.

Kondisi ini tentu menjadi fakta yang cukup ironis. Dengan kebutuhan industri halal yang demikian besar, menurut Nur, harusnya Indonesia dapat tampil sebagai pengekspor terbesar, bahkan di level internasional, dan bukan justru nyaman sebagai negara pengimpor terbesar keempat di dunia.

Sementara, bagi industri perbankan sendiri, Konsultan Ekonomi Syariah, Adiwarman Azwar Karim, justru memiliki pandangan yang menarik.

Menurut Adiwarman, belum berkembangnya pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia dapat terjadi lantaran ada sebagian pelaku industri yang masih berstatus Unit Usaha Syariah (UUS), yang sengaja mengerem pertumbuhan bisnisnya demi menghindari kewajiban pemisahan usaha (spin off) dari Sang Induk.

Hal ini merujuk pada Ketentuan OJK yang mewajibkan bagi UUS yang telah memiliki aset minimal sebesar Rp50 triliun untuk memisahkan diri dari induk usahanya, dan menjadi entitas terpisah sebagai Bank Umum Syariah (BUS).

Analisa tersebut disimpulkan Adiwarman dengan didasarkan pada fenomena bahwa tren perlambatan pertumbuhan sedikit-banyak terjadi pada bank-bank syariah dengan nilai yang telah mendekati angka Rp50 triliun.

"Karena memang dengan nantinya telah spin off, ketika terjadi sesuatu, maka dia akan lebih struggle, karena tidak mudah lagi bagi induk usaha untuk cawe-cawe, karena sudah jadi entitas bisnis terpisah. Jadi ada sebagian yang sengaja mengerem agar tidak wajib spin off," ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama BSI tersebut.

Dengan adanya fenomena perlambatan pertumbuhan 'by design' tersebut, maka menurut Adiwarman, cukup sulit bagi pemerintah selaku regulator untuk dapat mendorong industri syariah secara keseluruhan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara lebih maksimal.

Dengan sikap'ogah-ogahan' tersebut itu pula, langkah edukasi dan peningkatan literasi di masyarakat juga jadi hanya berjalan setengah hati, karena tidak adanya sarana edukasi yang memadai dari pihak bank syariah selaku pelaku industrinya sendiri.

"Ini lah yang kadang juga jadi ganjalan ke depan. Di satu sisi, kita ingin pertumbuhannya ke depan bisa semaksimal mungkin, karena potensi pasarnya juga sangat besar, tapi di lain pihak, ada sebagian (pelaku bank syariah) yang sengaja mengerem (pertumbuhan). Dan alasan mereka (mengerem pertumbuhan) ya bisa dipahami juga. Jadi dilematis," ujar Adiwarman.

(taufan sukma)

SHARE