BANKING

Perbankan Dinilai Harus Tangkas Hadapi Tantangan dan Peluang Ekonomi ke Depan

Kunthi Fahmar Sandy 03/08/2024 10:00 WIB

Industri perbankan nasional sebagai salah satu sektor utama penopang ekonomi RI dinilai harus semakin agile (tangkas) dalam menghadapi tantangan ekonomi.

Perbankan Dinilai Harus Tangkas Hadapi Tantangan dan Peluang Ekonomi ke Depan (FOTO:MNC Media)

IDXChannel —Industri perbankan nasional sebagai salah satu sektor utama penopang ekonomi RI dinilai harus semakin agile (tangkas) dalam menghadapi tantangan dan peluang ekonomi di masa depan, sehingga kondisi ekonomi Indonesia semakin terjaga.

Hal tersebut ditegaskan Ketua Bidang Organisasi Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS) Hery Gunardi dalam acara Welcoming Dinner PERBANAS CFO FORUM II – 2024 di Bali pada Kamis (1/8). 

Hery yang juga menjabat Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI menjelaskan, dinamika ekonomi dan keuangan berubah cepat, baik di tataran global juga nasional. 

"Hal tersebut tentunya membuka tantangan dan peluang besar bagi industri perbankan. Seperti kinerja ekonomi global yang terfragmentasi serta penurunan inflasi yang tertahan oleh inflasi harga jasa menjadi isu utama," katanya dalam rilis Sabtu (3/8/2024.

Mengutip data world economic outlook dari International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan PDB dunia tahun ini diproyeksikan sekitar 3,2 persen.

Pertumbuhan itu sama dengan tahun lalu, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan 2021 dan 2022 yang masing-masing 6,5 persen dan 3,5 persen.

“Selain itu, eskalasi geopolitik menambah ketidakpastian yang membayangi prospek ekonomi di masa depan. Menghadapi ketidakpastian ekonomi dan politik global, beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), mengadopsi kebijakan suku bunga tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama atau higher for longer,” kata Hery. 

Hery melanjutkan, pemilihan presiden di sejumlah negara pada 2024 dan tahun depan termasuk di AS, memperkuat pula ketidakpastian pada arah kebijakan moneter dan fiskal global. 

Kendati demikian, World Bank dan IMF memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh 5,0 persen  pada 2024. Proyeksi tersebut didukung oleh permintaan domestik. 

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tanah Air tetap baik pada 2024 yaitu di rentang 4,7 persen-5,5 persen. Perkiraan tersebut tertopang konsumsi rumah tangga yang terjaga dan iklim investasi yang positif.

“Konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap kuat meski terindikasi sedikit menurun pada kuartal II/2024. Terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen dan retail sales yang tumbuh relatif lebih lambat. Investasi juga diperkirakan tetap kuat sejalan dengan PMI Manufaktur yang tetap berada pada zona ekspansif,” tutur dia.

Dia pun menyoroti bahwa di tengah kondisi suku bunga tinggi, likuiditas secara makro menurun. Namun, tetap memadai yang terindikasi dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang turun tetapi tetap tinggi. 

Likuiditas yang masih memadai secara makro, kata dia, mendorong intermediasi perbankan tetap tumbuh solid karena didukung kebijakan makro prudensial yang akomodatif. 

Kendati demikian, tantangannya adalah pertumbuhan kredit akan diiringi dengan peningkatan Non Performing Loan (NPL).   Hal ini tentu mendorong risiko penyaluran kredit yang patut untuk terus dipantau. Selain itu, tantangan likuiditas terutama terkait funding perbankan, ke depan perlu terus dicermati. 

Data BI menunjukkan pertumbuhan kredit pada Juni 2024 tumbuh tinggi sebesar 12,36 persen secara tahunan/year on year (yoy). 

Pertumbuhan itu didorong kuatnya sisi penawaran dan permintaan terutama ditopang kredit korporasi. Adapun pertumbuhan DPK 8,45 persen yoy pada periode yang sama. Sedangkan loan to deposit ratio(LDR) 85,74 persen. 

Hery pun menyebut ke depan kondisi imbal hasil dari SRBI sangat menarik sebagai upaya  untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Penerbitan SBN pun tinggi mengingat banyaknya surat berharga negara yang jatuh tempo hingga 3 tahun ke depan. 

“Maka perbankan perlu terus berinovasi untuk menarik funding yang selanjutnya digunakan untuk penyaluran kredit. Salah satu dampaknya adalah potensi peningkatan cost of fund perbankan. Peningkatan cost of fund_ berpotensi berdampak pada net interest margin perbankan yang menyempit,” katanya.

(Kunthi Fahmar Sandy)

SHARE