BANKING

Pinjaman Daring Tumbuh Signifikan, Tak Diimbangi Literasi Finansial

Anggie Ariesta 07/03/2025 02:00 WIB

Bisnis pinjaman daring atau peer-to-peer lending (P2P lending) di Indonesia diproyeksi tumbuh signifikan pada 2025.

Pinjaman Daring Tumbuh Signifikan, Tak Diimbangi Literasi Finansial. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bisnis pinjaman daring atau peer-to-peer lending (P2P lending) di Indonesia diproyeksi tumbuh signifikan pada 2025. Meski begitu, terdapat tantangan yang perlu diatasi, terutama terkait literasi finansial.

Peneliti Digital Ekonomi Celios, Dyah Ayu Febriani mengatakan, outstanding pembiayaan P2P lending di Indonesia mengalami peningkatan, yang menandakan perluasan pasar dan kepercayaan peminjam dan investor.

"Hal ini merupakan hal yang baik yang mana karena ada peningkatan perdagangan daring yang meningkat tajam pada tahun 2025 kelak ini juga akan menjadi pelebaran pasar bagi peer to peer lending," ujar Dyah dalam Market Review IDX Channel, Kamis (6/3/2025).

Lebih lanjut, Dyah menyebut tingkat rasio kredit macet (TWP90) masih dalam batas stabil dan wajar di 2,52 persen. Hal itu berpotensi meningkatkan investasi asing di sektor financial technologi atau fintech.

"Hal ini juga akan meningkatkan destinasi luar negeri bagi Indonesia dalam sektor fintech atau secara spesifik peer to peer lending sendiri," tambahnya.

Menurut Dyah, salah satu faktor yang mendorong peningkatan pinjaman daring yaitu adanya batas wajar bunga pinjaman sebesar 0,8 persen yang ditetapkan oleh OJK. Dengan aturan tersebut, masyarakat terdorong untuk melakukan peminjaman.

Di sisi lain, peningkatan pinjaman daring masih didominasi oleh kebutuhan konsumtif. Dyah menyebut sebesar 50 persen pinjaman daring untuk sektor konsumtif, terutama leisure, hiburan, dan perjalanan.

Hal itu sejalan dengan naiknya pemesanan perjalanan online di platform e-commerce. “Sayang sekali kalau pinjaman produktif di Indonesia masih sangat rendah," kata Dyah.


Kurang Literasi Finansial

Di sisi lain, Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (IDIEC), M. Tesar Sandikapura menyoroti penggunaan pinjaman daring seringkali tidak sebanding dengan literasi finansial, terutama di kalangan generasi Z.

"Kalau saya lihat lifestyle bisa jadi karena semua orang punya platform digital tapi ini juga menjadi kebutuhan yang menurut saya tidak berbanding dengan literasi secara finansial, secara persentase gen Z pengguna pinjol, yang kita tahu mereka belum stabil," kata dia.

Dyah menambahkan bahwa lebih dari 50 persen pinjaman P2P lending digunakan untuk sektor konsumtif, seperti leisure, hiburan, dan perjalanan.

Tesar menekankan literasi finansial menjadi tantangan utama yang harus dihadapi. "Kalau ada faktor pendidikan literasi yang menjadi utama karena memang ketika ini masuk ke ranah digital menjadi lebih mudah, orang yang tanda kutip tidak bisa meminjam di bank ini lebih mudah akses peer to peer lending," kata dia.

Untuk mengatasi tantangan ini, Tesar mengusulkan agar OJK mempertimbangkan pembatasan usia dan pekerjaan bagi peminjam. Dengan demikian, bisnis pinjaman daring di Indonesia memiliki potensi besar, namun perlu diimbangi dengan peningkatan literasi finansial dan regulasi yang tepat.

"Ini mungkin peran OJK perlu melihat, saya juga baca ada beberapa fitur baru yang akan dibuat OJK yaitu pembatasan umur, sehingga mungkin yang bisa meminjam tidak boleh di bawah 20 tahun, pekerjaan juga tidak pasti untuk Gen Z dan milenial," kata dia.

Selain itu, dia juga menyoroti adanya penutupan 15 platform P2P lending oleh OJK dalam satu tahun terakhir, termasuk kasus yang menimpa pemain besar seperti Investree dan TaniHub.

"Secara platform memang ada pertumbuhan yang cukup signifikan walaupun tidak se-update 3-4 tahun terakhir, malah kita melihat ada beberapa data terjadi peningkatan juga yang ditutup oleh OJK," tuturnya.

(Febrina Ratna Iskana)

SHARE