ECONOMIA

Interview with Leaders - Membincang Harmoni dan Keberlanjutan di Tengah Ancaman Resesi

Taufan Sukma/IDX Channel 15/11/2022 15:15 WIB

Kita tidak bisa berbohong bahwa ada sejumlah tekanan yang dirasakan (masyarakat) dunia. Di sebagian daerah bahkan (tekanan itu) terasa lebih kuat.

Interview with Leaders - Membincang Harmoni dan Keberlanjutan di Tengah Ancaman Resesi (foto: MNC Media)

IDXChannel - "Each substance affects only itself. Nevertheless, all substances in the world interact causally with each other."

Kalimat di atas merupakan cikal bakal dari sebuah teori ketuhanan yang digagas oleh seorang pemikir Jerman di abad ke-17, yaitu Gottfried Wilhelm Leibniz, yang dia sebut sebagai paham Théodicée.

Paham tersebut meyakini bahwa alam semesta telah didesain dengan pola harmoni yang sebaik mungkin, sesempurna mungkin, karena diciptakan oleh Tuhan yang Maha Sempurna, yang dibangun dari masing-masing substansi yang terjalin dalam satu ikatan kausalitas.

Dalam sudut pandang yang lebih sederhana dan kekinian, boleh jadi, relasi berdasar kausalitas ini juga yang menjadi dasar dari konsep green industry yang dewasa ini semakin lantang disuarakan di kalangan pelaku industri di level internasional.

Sebuah konsep pengelolaan industri yang lebih berpusat pada kelestarian lingkungan, dengan mengedepankan efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan sumber daya secara berkelanjutan (sustainable resources).

Dengan demikian, segala aktivitas industri dan bahkan perekonomian secara lebih luas diharapkan dapat berjalan secara harmonis dan berjalan berdampingan dengan upaya menjaga kelestarian alam.

Konsep ini dipercaya sebagai jawaban atas semakin terbatasnya sumber daya fosil yang tersedia di alam, sehingga dianggap menjadi satu-satunya solusi dalam perekonomian ke depan, agar alam tidak semakin rusak, dan secara perlahan dapat diperbaiki lewat beragam pendekatan.

Upaya pendekatan tersebut, di antaranya, dilakukan oleh United Nations Global Compact atau disingkat UN Global Compact, yang merupakan sebuah organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbasis pada dunia bisnis, untuk mendorong adanya adopsi kebijakan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial dari sebuah perusahaan.

Saat ini, UN Global Compact telah menjadi pemrakarsa tanggung jawab sosial perusahaan berkelanjutan terbesar di dunia, yang memiliki lebih dari 13.000 perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya dari 170 negara di seluruh dunia.

Berada di bawah naungan PBB, UN Global Compact turut mendukung tujuan utama lembaga internasional tersebut, yaitu Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Di sela riuh-rendah aktivitas KTT G20 yang diselenggarakan di Bali, 15-16 November 2022, tim redaksi idxchannel.com berkesempatan berbincang dengan Asisten Sekretaris Jenderal sekaligus Chief Executive Officer UN Global Compact, Sanda Ojiambo, terkait beragam update isu internasional.

Berikut ini sebagian hal penting yang kami bahas dalam perbincangan tersebut.

Q: Bagaimana UN Global Compact memandang kondisi dan tantangan dunia saat ini, khususnya di bidang ekonomi dan dunia usaha internasional? Benarkah dunia sedang berada di ambang resesi? Seberapa gelap proyeksi kinerja perekonomian dan dunia usaha di tahun depan?

Memang ada banyak tantangan yang ada di perekonomian dunia saat ini, sehingga kemudian memunculkan proyeksi semacam itu (bakal terjadinya resesi). Apakah itu nyata? Saya pikir kita masih layak untuk berharap situasi ke depan bisa lebih membaik, dan tidak seburuk (proyeksi) itu.

Namun, bagaimana pun, kita tidak bisa berbohong bahwa ada sejumlah tekanan yang dirasakan (masyarakat) dunia. Di sebagian daerah bahkan (tekanan itu) terasa lebih kuat. Seperti tekanan inflasi yang muncul karena terganggunya rantai pasokan.

Lalu kebutuhan pembangunan bagi negara-negara berkembang. Juga upaya semua pihak, semua negara, kalangan korporasi, seluruh masyarakat luas, untuk segera pulih dari dampak pandemi COVId-19. Juga berbagai tekanan lainnya, yang itu semua sangat kompleks.

Seperti apa tantangan ke depan? Tentu bagaimana kita bisa menumbuhkan ekonomi, atau setidak-tidaknya mempertahankan kondisi yang ada sekarang. Juga soal penyediaan dana darurat untuk negara-negara yang membutuhkan. Ini semua sangat menantang. Jujur harus kami katakan (bahwa kami) tidak memiliki proyeksi secara spesifik tentang hal itu.

Secara concern kelembagaan, kami memang tidak bergerak ke ranah ekonomi terapan sejauh itu. Arah keminatan kami lebih agar perekonomian, dan bahkan kehidupan saat ini, dapat dipertahankan dengan baik lewat sebuah pengelolaan yang berkelanjutan.

Q: Bagaimana bentuk konkret dari upaya dan pendekatan yang coba dibangun oleh UN Global Compact tersebut?

Kami lebih banyak bergerak ke para pelaku bisnis, berdiskusi bersama, membangun concern bersama, untuk kemuedian dapat bergerak bersama, membangun komitmen untuk menjalankan bisnis ini secara berkelanjutan, menuju perekonomian yang berkelanjutan. Sustainable economy.

Komitmen itu benar-benar menjadi dasar untuk bagaimana bisnis ini dijalankan. Mulai dari segi perekrutan karyawannya, bagaimana menjalankan business process-nya, memitigasi risiko dan dampak lingkungannya, dampak sosial-ekonominya. Semacam itu.

Jadi lebih pada apa-apa saja yang bisa dilakukan oleh paar pelaku bisnis, oleh dunia usaha, untuk bisa berupaya bersama agar kondisi dunia ini bisa menjadi lebih baik, untuk kita, bahkan juga untuk anak-cucu kita nanti.

Q: Bagaimana cara UN Global Compact agar semangat membangun ekonomi berkelanjutan itu tidak terkesan klise, dan lebih penting lagi, agar bisa relate dan menjawab kondisi riil yang ada di masyarakat saat ini?

Apa yang kita lakukan di lapangan tetap sangat relate dengan kondisi kebutuhan masyarakat saat ini. Misalnya saja saat pandemi kemarin, kita mencoba membangun kekuatan bersama dengan pendekatan yang lebih lokal untuk menumbuhkan semangat enterpreuner di masyarakat, karena kami yakin dari sanalah ketanggungan dapat terbentuk.

Bagaimana kemudian akses-akses layanan keuangan, layanan permodalan bisa dipermudah agar masyarakat bisa lebih berdaya dengan dirinya sendiri, sehingga tidak lagi terlalu bergantung pada uluran tangan pemerintah yang bersifat konsumtif.

Kalaupun ada (bantuan dari pemerintah), kami lebih prefer pada jenis bantuan yang lebih produktif. Termasuk juga membangun perempuannya, atau woman empowering, agar bisa menjadi satu kekuatan baru bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks.

Kami memiliki program di lapangan yang menyentuh program pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, untuk kita bersama-sama memerangi praktik-praktik bias gender yang ada di lingkungan masyarakat, lingkungan kerja dan ruang-ruang sosial lainnya.

Q: Bagaimana kemudian soal krisis energi yang kini juga tengah melanda dunia, terutama di wilayah Eropa, bagaimana UN Global Compact melihat permasalahan ini? Bukan kah kondisi ini terjadi, diantaranya, juga karena pengelolaan energi di dunia, yang kurang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan?

Soal krisis energi, kita tidak bisa melihatnya secara terpisah satu per satu. Semua serba berkaitan. Mulai dari kebutuhan atas terjaminnya pasokan energi untuk semua pihak, krisis iklim, hingga belum lagi kita bicara soal permasalahan politik di level yang lain, yang tentu sangat berdampak pada bagaimana iklim bisnis ini dijalankan.

Q: Lalu ide dan solusi apa yang bisa diajukan oleh UN Global Compact untuk permasalahan tersebut?

Tentu saja, dan menurut kami tidak ada lagi jalan yang lain, yaitu mengajak semua pihak untuk kembali pada pemakaian energi yang terbarukan. Kita harus bersama-sama berpindah dari brown energy menjadi green energy. Dari energi fosil ke renewable energy. Karena itu adalah kekuatan kita bersama-sama ke depan.

Bagaimana pun, kita tidak bisa lagi melanjutkan pendekatan bisnis yang ada saat ini. Harus segera kita hentikan, agar kita tidak lagi menimbulkan kerusakan yang semakin parah. Ini bukan sekadar proyeksi, bukan sekadar teori, namun benar-benar terbukti di lapangan dengan adanya perubahan iklim yang sangat bisa kita rasakan akhir-akhir ini.

Jadi, bagi kami, ketika semua orang bicara resesi, yang itu diantaranya dipicu oleh lonjakan inflasi di banyak negara, semua itu tidak berdiri sendiri. Inflasi terjadi karena pasokan energi yang kian menipis, yang itu dipicu oleh krisis iklim.

Sehingga, jika tidak mau seperti lingkaran setan, mari kita benahi dari permasalahan akarnya. Apa itu? Menjaga lingkungan, menyelaraskan seluruh kegiatan bisnis dan ekonomi agar berjalan selaras dengan upaya pelestarian lingkungan. Ini harus bersama-sama kita jaga, kita upayakan, sehingga bisa membawa kita pada masa depan yang lebih baik. (TSA)

Reporter: Yulistyo Pratomo

SHARE