ECONOMIA

XBRL di Indonesia: Manfaat dan Tantangan

Lury Sofyan - Economist 19/08/2022 15:05 WIB

Kerusakan ekonomi akibat Pandemi Covid19 dan gelembung inflasi yang diperparah oleh konflik Rusia Ukraina menjadi isu terpenting yang digarisbawahi Bank Dunia.

XBRL di Indonesia: Manfaat dan Tantangan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kerusakan ekonomi akibat Pandemi Covid19 dan gelembung inflasi yang diperparah oleh konflik Rusia Ukraina menjadi isu terpenting yang digarisbawahi oleh World Bank pada Global Economic Prospect Report 2022. Tingkat risiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) menjadi sangat tinggi dan berpotensi mempengaruhi sektor finansial dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Ketika risiko dan ketidakpastian sangat tinggi, informasi menjadi sangat penting terutama dalam sektor keuangan dan investasi. Ketika terjadi gap informasi yang lebar, keputusan keuangan menjadi tidak optimal. Dalam teori ekonomi, gap informasi antara penjual dan pembeli sudah menjadi fenomena klasik. Seseorang dapat mengeksploitasi gap informasi untuk mendapat keuntungan dari pihak lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah ketidaksimetrisan informasi (asymmetric information).

Sebagai ilustrasi, di tahun 70-an Akerlof membahas kasus pasar kendaraan bekas yang merugikan (market of lemons). Penjual memiliki insentif untuk menjual mobil rusak di atas harga wajar karena memiliki informasi lebih dibanding pembeli.  Begitu pula dalam proses rekruitmen pegawai baru, Michele Spence melihatnya seperti perjudian karena perusahaan tidak sepenuhnya mengetahui profil dan kinerja pegawai yang akan dipekerjakan (hiring gamble).

Setali tiga uang, gap informasi juga merugikan sektor keuangan. Perusahaan asuransi sering menerapkan premi yang tidak sesuai dengan risiko yang ditanggung karena keterbatasan informasi calon nasabah. Keputusan investasi pun sama karena sering kali investor tidak memiliki informasi yang cukup tentang perusahaan yang akan dibelinya. Karena informasi fundamental sulit didapat, pasar sering gagal menjadi Mak Comblang yang baik. Perusahaan yang fundamental-nya bagus bisa jadi kalah pamor di mata investor dibanding perusahaan lainnya. Beberapa riset bahkan menunjukan bahwa dalam investasi, gap informasi bisa menyulut perilaku berkerumun (herding behavior) mengikuti orang lain tanpa alasan yang rasional. Dalam jangka panjang, gap informasi yang lebar dapat mengakibatkan gelembung harga (price bubbles) seperti yang terjadi pada krisis ekonomi 2008.

Pada area pembiayaan (financing), gap informasi juga dapat mengurangi kualitas pengucuran kredit. Karena informasi profil kreditur kurang memadai, kredit bisa jadi salah sasaran (adverse selection). Dampaknya sangat krusial karena kredit yang disalurkan kepada pihak yang tidak kredibel dapat meningkatkan potensi kredit macet (non-performing loan). Dalam skala besar, risiko ini dapat mengerogoti kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan nasional.

Ekonom Robert Murphy menyarankan intervensi pemerintah untuk mengurangi gap informasi. Dia memberikan contoh bahwa pemerintah dapat mewajibkan agar dasar penghitungan premi asuransi mobil harus mempertimbangkan gender, umur dan sejarah mengemudi (driving history) dari pemohon. Di sektor keuangan, implementasi XBRL memiliki potensi yang besar untuk mengurangi gap informasi. Isi artikel selanjutnya akan berfokus pada area ini.

Bagaimana XBRL dapat mengurangi gap informasi keuangan

eXtensible Business Reporting Language (XBRL) sangat potensial mengurangi gap informasi di sektor keuangan karena standardisasi Laporan Keuangannya yang handal. Ada dua hal yang standardisasi. Yang pertama adalah standardisasi taksonomi laporan keuangan yang diberlakukan secara nasional. Yang kedua adalah standardisasi format file khusus Laporan Keuangan yang berbasis XBRL, yaitu format file XML yang menggunakan teknologi tagging untuk memudahkan komparasi data. Kedua hal tersebut membuat Laporan Keuangan mudah disediakan (availability), lebih cepat dan tepat (timeliness), dan murah (less costly).  

Penerapan XBRL di Korea berhasil mengurangi gap informasi antara perusahaan dan investor sehingga meningkatkan efisiensi dari pasar modal. Pelaporan keuangan menjadi lebih cepat dan lebih lengkap. Investor dapat lebih mudah melakukan analisa laporan keuangan karena mudah diperbandingkan. Walaupun perusahaan harus menanggung biaya adaptasi pelaporan XBRL, secara jangka panjang, perusahaan mendapatkan limpahan keuntungan dari menurunnya biaya modal (cost of capital).

Penerapan XBRL di Amerika juga berhasil mengurangi gap informasi (Chong et al., 2017; Liu et al., 2017) dan meningkatkan ketepatan waktu (timeliness) pelaporan keuangan (Du & Wu, 2018). Lebih jauh, penerapan XBRL meningkatkan kapasitas otoritas pajak untuk mendeteksi kecurangan sehingga meningkatkan kepatuhan perpajakan (Chen et al., 2021).

Untuk memperoleh manfaat yang optimal, tata kelola Laporan Keuangan berbasis XBRL harus menggunakan konsep single reporting. Artinya, ada satu entitas yang berperan sebagai hub untuk menerima laporan. Entitas lain kemudian dapat memanfaatkan data Laporan Keuangan tersebut sesuai kepentingannya masing-masing.

Single reporting menjadikan laporan keuangan sebagai single source of truth, meminimalkan praktik laporan keuangan ganda dan menciptakan ekosistem pelaporan yang transparan. Dalam konteks gap informasi, single reporting dapat mengkalibrasi kekuatan antara si pemilik Laporan Keuangan (superior karena memiliki informasi lebih banyak) dan si pengguna Laporan Keuangan (inferior) menjadi lebih setara. 

Sebagai contoh, suatu perusahaan tentunya memiliki informasi lebih lengkap terkait kondisi internal keuangan mereka (superior) dibanding otoritas pajak dan keuangan (inferior). Pihak perusahaan yang superior memiliki moral hazard untuk mendapat keuntungan dari situasi tersebut dengan melakukan rekayasa Laporan Keuangan untuk kepentingan pajak dan bank. Untuk kepentingan pajak, perusahaan dapat dengan sengaja memperkecil nilai penghasilan karena akan menghemat pajak yang dibayar. Sebaliknya, untuk kepentingan bank, perusahaan dapat dengan sengaja memperbesar nilai penghasilan untuk mengkatrol profil perusahaan sebagai kreditur. Konsep XBRL single reporting dapat meminimalkan itu semua.

XBRL di Indonesia

Akhir April 2022 lalu, sejumlah 37 Wajib Pajak mengikuti implementasi penyampaian Laporan Keuangan berbasis XBRL. Program yang diberi nama SILK (Standarisasi Informasi Laporan Keuangan) ini adalah salah satu program unggulan yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meningkatkan efisiensi pelaporan keuangan.

Sebelumnya, IDX telah terlebih dahulu menginisiasi Laporan Keuangan berbasis XBRL ini. Penggunanya terbatas pada emiten saja. Implementasi yang dilakukan DJP merupakan pengembangan dari yang dimiliki IDX agar XBRL relevan digunakan bukan hanya emiten tapi oleh seluruh jenis perusahaan di Indonesia.

Jika XBRL diimplementasikan secara nasional, seluruh informasi Laporan Keuangan dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh berbagai institusi. Institusi keuangan - seperti bank dan asuransi - dapat menilai lebih akurat kemampuan finansial dan risiko calon kliennya ketika akan menberikan pinjaman atau menyepakati penjaminan. Otoritas pajak dapat lebih mudah mengelola penghindaran pajak karena tidak ada praktik pembukuan ganda. Pemanfaatan data Laporan Keuangan ini juga juga dapat dikembangkan oleh OJK, BI, BPJS, LPS, KSSK, BPS, dan otoritas lain-lain yang selama ini tidak diuntungkan karena gap informasi keuangan yang besar.

Tantangan

Negara-Negara maju memberikan pengalaman berharga bahwa menerapkan ekosistem XBRL itu tidaklah mudah. Perlu pelibatan banyak pihak dan membutuhkan waktu yang lama. Paling tidak ada tiga area yang bisa menjadi pembelajaran untuk perhatian pengembangan XBRL ke depan. 

Yang pertama adalah menyepakati taksonomi Laporan Keuangan Nasional. Best practice yang ada adalah “do not reinventing the wheel” yaitu gunakan yang ada dan pilih yang paling komprehensif. Indonesia sudah melalui tantangan ini karena taksonomi Laporan Keuangan DJP sudah cukup komprehensif dan siap digunakan. Yang perlu disiapkan adalah landasan hukum untuk implementasinya.

Yang kedua adalah ekosistem single reporting. Harus disepakati adanya suatu entitas yang akan menerima seluruh Laporan Keuangan dari seluruh entitas ekonomi. Institusi-institusi lain yang membutuhkan dapat mengakses dari entitas tersebut. 

Yang ketiga manajemen perubahan. Implementasi XBRL akan menambah biaya bagi perusahaan dan tantangannya adalah bagaimana mendisain agar biaya itu sepadan dengan manfaat yang diperoleh. Salah satu yang jelas dirasakan adalah perusahaan tidak perlu melayani berbagai permintaan Laporan Keuangan dari otoritas yang berbeda; sekali lapor saja cukup.  Selain itu, platform dan proses bisnis pelaporan XBRL pun harus dibuat mudah, sebisa mungkin menyatu dengan sistem akuntansi yang perusahaan pakai.  Hal ini akan mempermudah proses account mapping dari sistem akuntansi perusahaan ke taksonomi XBRL nasional.  Perlu pelibatan industri perangkat lunak akuntansi untuk ini.  Mereka juga dapat membantu penetrasi XBRL melalui produk-produk pernagkat lunak akuntansi mereka.  Akademisi dan asosiasi profesi independen pun perlu terlibat untuk melihat secara jernih dan berkala kekurangan-kekurangan yang ada.   

Namun itu saja tidak cukup. 

Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan disinsentif (insentif) bagi perusahaan yang tidak menggunakan (menggunakan) XBRL. Bagaimana menyadarkan pemangku kepentingan bahwa pengunaan XBRL ini adalah bagian penting dari praktik good corporate governance (GCG).  Adopsi XBRL oleh suatu perusahaan harus menjadi bagian positif dari portfolio perusahaan tersebut.  Suatu upaya sistematis yang sekarang sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian dalam sektor keuangan.

*) Behavioural Economist & Anggota Tim Pengembangan XBRL DJP

Catatan: Artikel ini murni pendapat pribadi, tidak mewakili institusi mana pun.

SHARE