19 Tahun Pembahasan, Ini Urgensi Disahkannya RUU PRT
Tidak bisa dipungkiri, banyak kasus penyiksaan yang menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT) di sektor domestik.
IDXChannel - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah 19 tahun dalam proses pembahasan menjadi agenda prioritas pemerintah tahun ini.
Tidak bisa dipungkiri, banyak kasus penyiksaan yang menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT) di sektor domestik.
Penyiksaan tersebut tidak hanya berbetuk kekerasan fisik, hak pekerja rumah tangga seperti jam kerja, jaminan kesehatan, dan gaji kerap terpinggirkan karena tidak adanya payung hukum. Terlebih hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini tidak secara khusus mengatur tentang PRT.
RUU PPRT ini diharapkan dapat melindungi tidak hanya PRT, tetapi juga pengguna dan penyalur.
Direktur Institut Sarinah, Eva K Sundari, mengatakan nasib pekerja makin memburuk. Data terakhir Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALAPRT) pada 2022 mencatat dalam satu hari ada minimal dua orang melapor menjadi korban kekerasan.
"Jadi trafficking itu luar biasa saat ini, karena tidak ada aturan yang mengatur tentang tenaga kerja untuk masuk ke dalam sektor PRT ini. Jadi karena tak ada regulasi apapun meski ada peraturan menteri (permen), tapi tidak efektif dan orang banyak tidak tahu," ujar Eva dalam diskusi Forum Merdeka Barat, dikutip Kamis (2/2/2023).
JALAPRT pada 2019 juga membuat penelitian yang menunjukkan rata-rata PRT berasal dari keluarga miskin yang memiliki tanggungan 4-5 orang.
Eva mengatakan saat ini jumlah PRT di Indonesia lebih dari 4 juta jiwa. JALAPRT menyatakan dalam kurun waktu 2015 – 2022 setidaknya ada 2.637 PRT yang melayangkan laporan.
Laporan tersebut terdiri dari 1.148 kasus kekerasan ekonomi, seperti upah dan Tunjangan Hari Raya (THR) tidak dibayar. Kasus yang kerap terjadi juga didapati pada jam kerja yang tidak jelas, tidak adanya hari libur, dan beban kerja yang unlimited.
Dalam rancangan UU ini telah dibuat regulasi tentang kewajiban bekerja rumah tangga, pemberi kerja, jam kerja, libur seminggu sekali, hak cuti 12 hari pertahun, THR, jaminan sosial dan kesehatan, batas usia minimum, dan lingkungan kerja yang layak.
RUU PPRT juga menyimpan esensi berupa memberikan perlindungan dan pengakuan kepada pekerja, pemberi kerja, dan penyalur.
Perempuan dan anak di bawah umur yang rentan dipekerjakan juga menjadi perspektif yang terus didorong untuk mendapatkan pendampingan hukum dan juga layanan-layanan yang sesuai dengan kepentingan dan hak-hak mereka.
"Karena selama ini UU ketenagakerjaan belum optimal melindunginya, sehingga diperlukan secara khusus yang mengatur tentang hak-hak saudara-saudara kita itu, inilah dari sisi pekerja," ujar Dirjen Pembinaan Pengawasan K3 Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Haiyani Rumondang, pada kesempatan yang sama.
Menurut Haiyani, adanya UU PPRT memberikan keuntungan bagi semua belah pihak.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati menuturkan terdapat tiga hal yang harus dilakukan saat ini.
Pertama, kerja secara politis, yakni bagaimana mengelola bedanya pandangan untuk menyamakan perpektif. Kedua, kerja substansi, ini yang harus dikerjakan bersama menyatukan pemikiran sehingga disepakati sebuah UU.
Kemudian, membangun komunikasi. Hal ini dilakukan agar tidakadanya kesalahpahaman atau gagap informasi kepada masyarakat. (NIA)
Penulis: Anabela C Zahwa