ECONOMICS

30 KTT Perubahan Iklim, Apa Progresnya di COP27 Mesir?

Maulina Ulfa - Riset 07/11/2022 12:36 WIB

30 tahun sejak perundingan iklim dimulai, nyatanya emisi karbon juga belum berhasil diturunkan secara global.

30 KTT Perubahan Iklim, Apa Progresnya di COP27 Mesir? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - November tahun ini menjadi bulan yang penuh dengan gelaran internasional. Tak hanya G20 yang akan diadakan di Bali pada 15-16 November mendatang, saat ini para pemimpin dunia juga sedang berkumpul dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim atau COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir.

Mengutip laman resmi United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC), COP27 ini merupakan acara tahunan yang digelar untuk mendiskusikan isu perubahan iklim dan mencari solusi bersama para pemimpin negara.

Dalam kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, UNFCCC mengoordinasikan serangkaian acara khusus di COP27 di Sharm el-Sheikh dengan tema  “Together 4 Transparency”.

KTT pada 8 hingga 17 November ini akan menampilkan berbagai kegiatan dan acara yang mencakup semua aspek transparansi aksi dan dukungan iklim.

Event ini disebut akan berfokus pencapaian selama 30 tahun terakhir, dengan memamerkan keberhasilan dan praktik terbaik, dan membuka jalan bagi implementasi penuh dari Enhanced Transparency Framework (ETF) dari Perjanjian Paris 2015.

Salah satu yang akan dibahas dalam COP27 adalah kejelasan tentang upaya global untuk memobilisasi dana miliaran dolar yang dibutuhkan setiap tahun untuk pengembangan ekonomi hijau.

Selain itu, juga terkait pendanaan untuk membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan.

Pengurangan Emisi yang Hanya Jadi Mimpi

Melalui KTT iklim, dunia berlomba untuk menetapkan target pengurangan emisi untuk mencegah perubahan iklim.

Sayangnya, implementasi dari berbagai KTT ini masih belum dirasakan maksimal. Padahal, UNFCCC sebagai rezim perubahan iklim internasional telah dibentuk sejak 1992 pada Earth Summit di Rio de Janeiro.

Artinya, 30 tahun sejak perundingan iklim dimulai, nyatanya emisi karbon juga belum berhasil diturunkan secara global. Di samping capaian yang sudah diperoleh, agenda utama pengurangan emisi global ini perlu untuk didekonstruksi kembali.

Adapun, Indonesia juga ikut menandatangani Perjanjian Paris pada COP21 tahun 2015.

Melalui Nationally Determined Contributions (NDC), para negara peserta KTT iklim diharapkan untuk mampu mencegah kenaikan suhu bumi yang naik akibat emisi tidak lebih dari 2 derajad celcius.

NDC kemudian memaksa negara-negara untuk menetapkan target pengurangan emisi mereka.

Namun, Indonesia juga dinilai masih lemah dalam memenuhi amanat pengendalian perubahan iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku National Focal Point UNFCCC, pada tanggal 23 September 2022 telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC) Indonesia.

Menurut KLHK, hal-hal yang dimutakhirkan di dalam dokumen ENDC adalah peningkatan target NDC, perkembangan kebijakan nasional, kebijakan adaptasi perubahan iklim dan kerangka transparansi.

Adapun target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri pada Updated NDC (UNDC) sebesar 29% meningkat ke 31,89% pada ENDC, sedangkan target dengan dukungan internasional pada UNDC sebesar 41% meningkat ke 43,20% pada ENDC.

Mengutip BBC, aktivis Greta Thunberg pada 9 Oktober 2021 lalu menggunakan pidatonya di konferensi Youth4Climate di Milan, Italia, untuk menyindir para pemimpin dunia, terkait kurangnya aksi mereka dalam melawan perubahan iklim.

Greta menyebut pernyataan yang sering digunakan para pemimpin dunia seperti 'ekonomi hijau', 'pembangunan berkelanjutan', dan 'aksi ramah lingkungan' sebagai janji kosong atau "Blah, blah, blah...".

Greta menyebutnya sebagai kata-kata hebat tanpa aksi nyata. Banyak negara di dunia yang berjanji mengurangi emisi gas buang untuk melawan perubahan iklim, namun emisi tidak berkurang bahkan semakin meningkat.

Terlihat dari jumlah emisi global yang dari tahun ke tahun juga masih tetap tinggi. Meskipun ada rezim iklim yang menaunginya dan setiap tahun diadakan pertemuan, namun penurunan emisi juga belum Nampak terjadi. (Lihat grafik di bawah ini).

 

Seretnya Dana Perubahan Iklim

Dalam COP27 akan dilaporkan penilaian Dua Tahunan Kelima dan Tinjauan Arus Pendanaan Iklim atau Fifth Biennial Assessment and Overview of Climate Finance Flows.

Laporan ini menunjukkan bahwa aliran pendanaan iklim global 12% lebih tinggi pada 2019-2020 dibandingkan dua tahun sebelumnya, mencapai rata-rata tahunan sebesar USD803 miliar.

Peningkatan ini terutama didorong oleh lebih banyak investasi dalam efisiensi energi di gedung-gedung, investasi dalam kendaraan listrik dan langkah-langkah untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, seperti membangun pertahanan baru terhadap banjir.

Pembiayaan iklim dari negara maju ke negara berkembang juga diklaim meningkat antara 6% dan 17% pada 2019-2020, baik secara langsung dari negara maju ke negara berkembang, atau melalui dana iklim dan bank pembangunan multilateral.

Pertanyaannya, masihkah negara-negara kaya akan konsisten dengan agenda ini?

Tahun depan diramalkan akan sulit. Dimulai dari negara-negara maju yang hanya akan menikmati pertumbuhan ekonomi di bawah 3%, menurut ramalan beberapa lembaga.

Inflasi masih akan menghantui negara-negara maju dan akan berdampak bagi negara berkembang termasuk Indonesia.

Sementara, di Indonesia Saat ini, sebagian besar pembiayaan untuk tindakan mitigasi perubahan iklim tetap ditanggung negara anggaran (APBN) yang jauh dari mencukupi.

The New York Times (6/11) juga melaporkan fakta yang kontradiktif. Saat ini, negara-negara miskin yang menghadapi bahaya iklim menginginkan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara industri lainnya untuk memberikan kompensasi kepada mereka atas kerusakan alam yang disebabkan oleh gas rumah kaca yang mereka hasilkan selama bertahun-tahun ini.

Di Pakistan, banjir musim panas tahun ini menewaskan 1.700 orang dan membuat sepertiga negara itu terendam air.

“33 juta orang Pakistan saat ini harus membayar dampak dari industrialisasi negara-negara besar. Apa yang kami cari bukanlah amal, bukan sedekah, bukan bantuan, tetapi keadilan,” kata menteri luar negeri Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari, mengutip New York Times, (6/11).

Di Fiji, seluruh desa mundur ke pedalaman untuk menghindari naiknya air laut. Di Kenya, kekeringan yang berkepanjangan telah membunuh ternak dan menghancurkan mata pencaharian.

Mereka termasuk di antara sejumlah negara berkembang yang menghadapi kerusakan permanen akibat perubahan iklim tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi krisis ini.

Negara berkembang ini juga menuntut kompensasi dari pihak-pihak yang mereka anggap bertanggung jawab. Di antaranya adalah negara-negara kaya yang telah membakar minyak, gas, dan batu bara selama beberapa dekade ini dan menciptakan polusi yang merusak untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri.

Tahun lalu, negara-negara kaya berjanji untuk menyediakan USD40 miliar per tahun hingga 2025 untuk membantu negara-negara miskin dengan langkah-langkah adaptasi iklim seperti membangun pertahanan banjir.

Tetapi sebuah laporan PBB memperkirakan jumlah ini kurang dari seperlima dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang.

Sebuah studi juga memperkirakan bahwa negara-negara berkembang dapat menderita kerugian sebesar USD290 miliar hingga USD580 miliar per tahun hingga 2030. Angka ini bisa meningkat menjadi USD1,7 triliun pada 2050.

Kegagalan perundingan iklim ini perlu menjadi sorotan bersama di tengah bencana alam yang kian massif terjadi dan menimbulkan kerugian secara materil maupun non-materil. (ADF)

SHARE