sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Bos Chevron Tuding Kebijakan Iklim Sebabkan Krisis Energi, Kenapa?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
17/10/2022 14:45 WIB
CEO Chevron, Mike Wirth, memperingatkan bahwa transisi prematur ke energi hijau saat ini berdampak besar bagi krisis energi global, terutama di Eropa.
Bos Chevron Tuding Kebijakan Iklim Sebabkan Krisis Energi, Kenapa? (Foto: MNC Media)
Bos Chevron Tuding Kebijakan Iklim Sebabkan Krisis Energi, Kenapa? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bos perusahaan raksasa migas asal Amerika Serikat (AS) Chevron, Mike Wirth, mengatakan, kebijakan pemerintah Barat yang ‘menggandakan’ kebijakan energi hijau menjadi penyebab memburuknya krisis energi global.

Dalam wawancaranya dengan Financial Times pekan lalu, kebijakan energi hanya akan menyebabkan lebih banyak volatilitas, lebih banyak ketidakpastian, dan lebih banyak kekacauan.

"Kebijakan transisi energi ini memunculkan risiko perpindahan ke sistem baru yang cukup agresif dengan mematikan nuklir, mematikan industri batu bara, mengecilkan hati industri minyak dan gas," tegas Wirth mengutip Financial Times, Selasa (17/10).

Wirth menyebut kondisi ini sebagai transisi prematur dari bahan bakar fosil ke energi hijau, dan sebuah langkah untuk mendekarbonisasi ekonomi.

Kondisi tersebut menurut Wirth telah memicu konsekuensi yang tidak diinginkan. Masalah pasokan energi kini menjadi persoalan yang meluas di benua Eropa dan perlahan mulai menjangkiti negeri Paman Sam.

Ia menyarankan para politisi harus mengadakan pertemuan terbuka tentang krisis energi sebelum keadaan memburuk.

Investasi Rendah Karbon Perusahaan Migas Paling Besar

Wirth menjelaskan kurangnya investasi selama bertahun-tahun menyebabkan krisis energi global dan justru menjadi penyebab krisis ini bahkan sebelum invasi Rusia.

Kondisi ini menunjukkan terbatasnya kapasitas cadangan negara-negara penghasil minyak dalam memenuhi kebutuhan energi.

Dia mengatakan investasi energi hijau dan penghilangan sepenuhnya energi fosil telah memunculkan ketidaksesuaian.

Menurut Wirth, meskipun investasi energi terbarukan, seperti tenaga angin dan energi matahari, telah banyak dilakukan oleh pemerintah Barat selama dua dekade terakhir, bahan bakar fosil masih menjadi tenaga utama sektor pembangkit listrik.

“Kenyataannya, [bahan bakar fosil] adalah apa yang menjalankan dunia saat ini. Jenis energi ini akan menjalankan dunia besok dan lima tahun dari sekarang, 10 tahun dari sekarang, 20 tahun dari sekarang,” ungkap Mike Wirth.

Komentar Wirth menyalahkan pemerintah Barat atas krisis energi dan juga mencakup peran sektor perbankan di Wall Street, perusahaan teknologi besar, elit perusahaan, dan organisasi progresif lainnya, seperti The World Economic Forum, yang telah bekerja sama untuk mendorong agenda transisi energi ini.

“Agenda yang sangat jelas ini mempersulit industri kami dalam menyediakan energi kepada pelanggan kami,” kata Wirth.

Kekesalan Wirth memang bukan tanpa alasan. Mengutip riset yang dilakukan Indonesia Petroleum Associations (IPA), transisi energi yang dilakukan untuk mencapai target penurunan emisi karbon menelan biaya sebesar USD275 triliun hingga 2050.

Sedangkan Indonesia sendiri membutuhkan USD2 triliun untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030.

Sementara, total investasi perusahaan besar untuk agenda pengurangan emisi hingga 2030 mencapai lebih dari USD30 miliar. (Lihat grafik di bawah ini).

Komitmen Investasi Rendah Karbon Perusahaan Migas Global

 

Sumber: Indonesia Petroleum Associations (IPA)

Adapun Chevron Corp (CVX.N) sendiri menghabiskan investasi hingga USD10 miliar untuk mengurangi jejak emisi karbonnya hingga tahun 2028. Meskipun demikian, sikap Chevron mengatakan belum siap untuk berkomitmen pada target emisi nol nol tahun 2050, mengutip Reuters (15/09).

Perusahaan migas besar lainnya, seperti British Petroleum (BP), mengatakan akan menginvestasikan sekitar £18 miliar atau setara USD22 miliar di Inggris pada tahun 2031 menyusul seruan perdana menteri untuk meningkatkan pasokan energi rendah karbon domestik dan untuk memangkas impor gas alam dari Rusia.

Raksasa migas asal Italia, ENI juga mendedikasikan 25% dari capital expenditure tahunan perusahaan untuk kegiatan operasional rendah karbon pada 2024.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement