Sebelumnya, ENI telah mengumumkan 14% dari pendapatan tahunannya akan digunakan untuk bisnis energi terbarukan di tahun yang sama.
Namun, situasi kini berbeda. Dunia sedang di ambang ketidakpastian pasokan energi akibat peran dan dominasi negara-negara penghasil minyak dalam menentukan aturan main pasokan energi.
Terbaru, OPEC+ berencana akan berencana memotong produksi minyak setara hampir 2 juta barel per hari untuk mengontrol harga minyak yang kian merosot. Kondisi ini menyebabkan hubungan negara-negara OPEC, terutama Arab Saudi dengan AS memanas beberapa waktu terakhir.
Menurut Wirth, perang di Ukraina dan gangguan pada pasar energi global adalah bukti dari kekacauan ini. Negara-negara yang dengan cepat meningkatkan investasi energi ramah lingkungan dan penonaktifan pembangkit listrik bahan bakar fosil paling menderita dengan adanya kondisi ini. Jerman adalah contoh utama.
Jerman sedang menghadapi krisis energi setelah Rusia memotong pasokan gas ke Berlin sebagai tanggapan atas sanksi Barat atas perang di Ukraina.
Jerman memerlukan dana talangan energi sebesar €200 miliar karena inflasi yang mencapai dua digit pada akhir September lalu.
Harga energi melambung hingga 44% plebih tinggi dari tahun lalu setelah Rusia menghentikan ekspor gasnya, sementara harga pangan naik 19 %.
Wirth menyebut para penganjur transisi energi mengatakan bahwa dunia membutuhkan lebih banyak jenis energi tetaou tidak bertanggung jawab atas gerakan dekarbonisasi yang menjadi bumerang dan telah menyebabkan hiperinflasi energi.
Wirth juga memperingatkan rumah tangga AS untuk bersiap menghadapi kenaikan harga gas alam musim dingin ini. Dia menolak pernyataan Gedung Putih yang menyalahkan industri minyak dan gas (migas) sebagai penyebab krisis energi dan melonjaknya harga BBM di AS.
“Konsekuensi yang tidak diinginkan dari dekarbonisasi ekonomi terlalu cepat adalah hiperinflasi energi,” pungkas Wirth. (ADF)