Akui Bersalah atas Kecelakaan Lion Air, Boeing Ternyata Andalkan Pendapatan dari Pemerintah AS
Boeing (BA.N) membuka babak baru usai akhirnya mengaku bersalah atas tuduhan konspirasi terkait dua kecelakaan fatal yang melibatkan pesawat 737 Max.
IDXChannel - Boeing (BA.N) membuka babak baru usai akhirnya mengaku bersalah atas tuduhan konspirasi terkait dua kecelakaan fatal yang melibatkan pesawat 737 Max lebih dari setengah dekade lalu.
Melansir CNBC International, Senin (8/7/2024), Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mengatakan Boeing setuju untuk mengaku bersalah atas tuduhan penipuan kriminal yang terkait dengan kecelakaan fatal seri 737 Max.
Berdasarkan kesepakatan tersebut Boeing setuju untuk membayar denda sebesar USD243,6 juta alias setara Rp3,97 triliun (kurs Rp16.286 per USD).
Boeing juga harus menginvestasikan setidaknya USD455 juta dalam program kepatuhan dan keselamatan.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Boeing juga menyetujui dewan direksi untuk bertemu dengan anggota keluarga korban kecelakaan.
Tawaran kesepakatan pembelaan tersebut memaksa Boeing untuk memutuskan antara pengakuan bersalah dan persyaratan yang terlampir.
Jika Boeing tidak memenuhi tuntutan tersebut, maka perusahaan akan diadili. Namun, pengakuan ini akan berdampak bagi citra Boeing ke depan.
Ini karena pengakuan bersalah akan menimbulkan konsekuensi di mana perusahaan pembuat pesawat tersebut dicap sebagai penjahat dan dapat mempersulit kemampuannya untuk menjual produk kepada pemerintah AS.
Diketahui, sekitar 32 persen dari pendapatan Boeing yang berjumlah hampir USD78 miliar tahun lalu berasal dari unit pertahanan, luar angkasa, dan keamanan pemerintah AS.
Memasuki kuartal I-2024, Boeing melaporkan menghasilkan tiga segmen utama, yaitu dari Pesawat Komersial hanya sebesar 28 persen, lalu segmen Pertahanan, Ruang & Keamanan sebesar 42 persen, dan Layanan Global sebesar 30 persen dari pendapatan Q1 2024.
Artinya, pendapatan Boeing sebagian besar masih ditopang oleh belanja pemerintah AS. (Lihat tabel di bawah ini.)
“Kami dapat mengonfirmasi bahwa kami telah mencapai kesepakatan prinsip mengenai resolusi dengan Departemen Kehakiman, tergantung pada peringatan dan persetujuan persyaratan tertentu,” kata Boeing dalam sebuah pernyataan.
Pada Mei 2024, Departemen Kehakiman mengatakan Boeing telah melanggar perjanjian di 2021.
Berdasarkan tuntutan yang diajukan, Boeing setuju untuk membayar USD2,5 miliar, termasuk denda pidana awal sebesar USD243,6 juta, kompensasi kepada maskapai penerbangan, dan dana USD500 juta untuk anggota keluarga korban.
Penyelesaian 2021 itu akan berakhir dua hari setelah panel pintu pesawat 737 Max 9 Alaska Airlines meledak pada 5 Januari lalu. Meskipun tidak ada korban luka serius, kecelakaan tersebut menciptakan krisis keselamatan baru bagi Boeing.
Buntut serangkaian kejadian ini, AS menuduh Boeing melakukan konspirasi untuk menipu pemerintah dengan menyesatkan regulator tentang dimasukkannya sistem kontrol penerbangan pada seri pesawat jenis Max.
Seri Boeing ini kemudian terlibat dalam dua kecelakaan, yakni penerbangan Lion Air milik Indonesia pada Oktober 2018 dan penerbangan Ethiopian Airlines pada Maret 2019 dengan korban jiwa mencapai 346 orang.
Sebelumnya, insiden kecelakaan pesawat menimpa Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air berkode penerbangan JT610 rute Jakarta-Pangkal Pinang.
Pesawat ini jatuh beberapa saat setelah lepas landas di Laut Jawa, menewaskan seluruhnya 181 penumpang dan 8 kru.
Hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pilot sempat melaporkan adanya gangguan pada kendali pesawat, indikator ketinggian, dan indikator kecepatan.
Kerusakan ini terkait dengan maneuvering characteristic augmentation system (MCAS). MCAS adalah fitur yang baru ada di Boeing 737 MAX 8 untuk memberbaiki karakteristik anggok pesawat pada kondisi flap up, manual flight dan AOA tinggi.
"Proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai. Juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS," terang KNKT.
Federal Aviation Administration (FAA) juga melarang Boeing memperluas produksi jet MAX-nya atau melakukan produksi tambahan untuk pesawat tersebut hingga masalah kontrol kualitas benar-benar dijamin.
“Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi pada pesawat yang meninggalkan pabrik kami. Kami harus berbuat lebih baik untuk pelanggan kami dan penumpangnya,” kata CEO Boeing Dave Calhoun pada awal Februari lalu.
FAA juga mengaudit proses produksi pesawat tersebut, dan menemukan beberapa contoh di mana perusahaan tersebut diduga gagal mematuhi persyaratan kendali mutu manufaktur.
Terbaru, Biro Investigasi Federal (FBI) menemukan fakta baru atas penyelidikan meledaknya pintu darurat Alaska Airlines Boeing 737 MAX 9. FBI menyebut para penumpang telah menjadi korban dari tindak pidana.
Buntutnya, FAA AS menghentikan sementara sebagian besar pesawat Boeing 737 MAX-9 setelah insiden Alaska Airlines ini. (ADF)