ECONOMICS

Ambisi Jokowi Bentuk Kartel Sawit dan Nikel, Seberapa Besar Peluangnya?

Maulina Ulfa - Riset 22/05/2023 12:57 WIB

Indonesia mulai mencoba mengeluarkan taringnya dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven (G7) di Jepang.

Ambisi Jokowi Bentuk Kartel Sawit dan Nikel, Seberapa Besar Peluangnya? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Indonesia mulai mencoba mengeluarkan taringnya dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven (G7) di Jepang.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan terbentuknya organisasi tingkat dunia yang serupa dengan The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).

Nantinya, organisasi tersebut akan berfokus kepada produk strategis lainnya, yakni nikel dan sawit.

Menurutnya, anggota Group of Seven (G7) bisa menjadi mitra pembangunan hilirisasi industri Indonesia melalui kelembagaan tersebut.

Jokowi juga menegaskan, kolaborasi diperlukan untuk mendukung industri nikel dan sawit ke depannya. Usulan ini disampaikan Jokowi saat menghadiri salah satu pertemuan KTT G7 2023.

“Bapak Presiden Jokowi mengajak negara anggota G7 sebagai mitra pembangunan hilirisasi industri Indonesia dan mengusulkan dibentuk lembaga semacam ‘OPEC’. Beliau menegaskan bahwa yang diperlukan dunia saat ini adalah kolaborasi, bukan polarisasi yang memecah belah,” ujar Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam keterangan pers secara virtual, Minggu (21/5/2023).

Dengan demikian, terdapat kelembagaan nikel dan sawit yang tujuannya serupa dengan OPEC yakni untuk mengkoordinasikan kebijakan dan menjaga pasar tetap stabil untuk mengamankan pasokan reguler bagi konsumen.

Tantangan Pembentukan Kartel Sawit dan Nikel

Indonesia mengandalkan sawit sebagai salah satu komoditas yang memberikan nilai dalam perekonomian nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi perkebunan sawit RI melonjak dalam delapan tahun terakhir.

Sejak 2016, produksi sawit dalam negeri terus mengalami kenaikan dengan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia sebesar 46,73 juta ton pada 2022. Meskipun jumlah tersebut menurun 0,34% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 46,89 juta ton, namun produksi ini terpantau stabil di atas 40 juta ton. (Lihat grafik di bawah ini.)

Bersama Malaysia, Indonesia menjadi pemasok utama produk sawit dunia. RI menghasilkan lebih dari 30 juta ton minyak kelapa sawit per tahun yang berkontribusi sebesar 4,5% dari produk domestik bruto (PDB) serta, memberikan lapangan kerja bagi 3 juta orang.

Di samping itu, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia dengan kontribusi 38% pasokan global, berdasarkan data konsultan berbasis di Inggris CRU Group. Angka ini disebut menguasai seperempat dari cadangan logam nikel dunia.

Data dari U.S. Geological Survey, Mineral Commodity Summaries pada Januari lalu menunjukkan produksi nikel Indonesia mencapai 1 juta metrik ton dengan cadangan mencapai 21 juta metrik ton. Indonesia menduduki peringkat teratas baik dalam hal cadangan maupun produksi nikel. (Lihat grafik di bawah ini)

 

Langkah Jokowi mengusulkan pembentukan kartel sawit dan nikel di forum G7 menjadi momentum penting di mata internasional.

Dalam forum G7, Presiden Jokowi berulang kali menegaskan pentingnya kolaborasi global yang setara dan inklusif.

Pernyataan ini sekaligus menekankan untuk memberhentikan kebijakan monopoli dan diskriminasi terhadap komoditas negara berkembang karena setiap negara memiliki hak pembangunan (right to development) dan hak untuk mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan nilai tambah.

“Pada kesempatan ini, Presiden Jokowi menekankan setiap negara harus menghormati keputusan masing - masing negara dalam mengolah sumber daya alam,” imbuhnya.

Dengan demikian, Presiden Jokowi mengharapkan kolaborasi yang lebih setara dan menguntungkan Indonesia.

Pasalnya, Indonesia mulai beranjak dari peran sebagai negara pengekspor barang mentah menjadi negara yang melakukan hilirisasi industri untuk mendapatkan nilai tambah.

“Ini bukan berarti Indonesia menutup diri melainkan Indonesia meningkatkan kerjasama dalam bentuk lain yang lebih setara dan saling menguntungkan. Itulah pesan Presiden,” pungkasnya.

Namun, setiap upaya pembentukan kartel untuk mengendalikan harga nikel maupun sawit global akan menemui jalan terjal.

Frank Fannon, direktur pelaksana Fannon Global Advisors dan mantan asisten menteri luar negeri AS untuk sumber daya energi, sempat mengatakan kartel gaya OPEC untuk nikel akan berpotensi ‘membekukan’ investasi barat di sektor nikel Indonesia.

Di samping itu, saat ini RI tengah menghadapi tantangan hukum Uni Eropa terkait produk sawit. Uni Eropa resmi memberlakukan undang-undang baru soal deforestasi, awal minggu ini bertajuk EU Deforestation Regulation (EUDR). UU ini resmi berlaku per 16 Mei 2023.

UU ini disebut untuk meminimalisir risiko penggundulan hutan yang akan berdampak pada produk yang diekspor ke pasar Eropa, termasuk sawit RI. Aroma diskriminasi komoditas andalan RI kental terasa dalam aturan baru Uni Eropa ini.

Hal yang sama mungkin akan dialami oleh sawit RI, di mana masih banyak upaya yang harus dilakukan Indonesia untuk melawan dominasi Uni Eropa dan meyakinkan negara-negara penghasil sawit untuk mau bergabung dalam kartel ini.

Sementara itu, di antara negara-negara OPEC yang kuat, seperti Arab Saudi, produksi minyak didominasi oleh perusahaan negara.

Jika ingin mengikuti jejak OPEC, organisasi ini ditopang oleh jam terbang dan sejarah yang amat kokoh dalam mengendalikan pengaruhnya terhadap harga minyak dunia. Namun, Indonesia belum memiliki track record tersebut. (ADF)

SHARE