Andai Putin Datang ke G20, Kira-Kira Mau Ngomong Apa?
Putin masih akan ‘tarik-ulur’ perihal kedatangannya pada KTT G20 di Bali nanti.
IDXChannel - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan digelar di Bali tinggal sebentar lagi. Sejumlah delegasi negara dikabarkan akan menghadiri perhelatan elite tersebut. Mulai dari pemimpin negara hingga representasi bisnis.
Sebelumnya diberitakan, CEO anyar Twitter, Elon Musk mengonfirmasi kehadirannya di Bali pada 13-14 November mendatang.
Tak hanya Musk, pemimpin negara seperti presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden hingga Perdana Menteri (PM) Inggris yang baru, Rishi Sunak juga hadir di Indonesia.
Tak kalah dinantikan, presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin juga diberikan undangan untuk kehadirannya di KTT G20.
Anggota G20 sendiri terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa.
Namun, perang yang pecah akibat invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022 lalu membuat Putin banyak mendapat kecaman. Terutama dari negara-negara Barat seperti AS.
Dalam pernyataannya, Joe Biden tidak berniat untuk bertemu dengan Presiden Rusia tersebut saat menghadiri KTT G20 nanti.
Sikap Biden itu tertuang dalam pernyataan resmi Gedung Putih.
Mengutip Politico, Biden tidak berniat bertemu dengan Putin menurut sekretaris pers White House, Karine Jean-Pierre dalam menanggapi pertanyaan wartawan tentang apakah Gedung Putih telah berkomunikasi dengan Moskow tentang pertemuan G20.
Kehadiran Putin di G20 juga ditentang oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang mengatakan Ukraina tidak akan berpartisipasi dalam KTT G20 di Indonesia jika Putin hadir.
"Jika pemimpin Federasi Rusia ambil bagian di dalamnya, Ukraina tidak akan berpartisipasi," kata Zelensky dalam konferensi pers dengan Presiden Yunani Katerina Sakellaropoulou di Kyiv pada Kamis (3/11).
Adapun dalam pernyataannya, Putin memastikan kehadiran perwakilan tingkat tinggi Rusia dalam KTT G20 di Bali nanti. Namun, ia belum memastikan kemungkinan dirinya hadir secara langsung dan masih dalam posisi mempertimbangkan itu.
Sementara itu, pengamat pertahanan keamanan dan militer Indonesia Connie Bakrie mengkonfirmasi langsung perihal kehadiran Putin dalam KTT G20 di acara Valdai Discussion Club yang diadakan di Moskow, Rusia, 24-27 Oktober 2022.
Melalui unggahan video, Connie secara langsung memberikan pertanyaan pada Putin
"Pak Presiden saya sangat suka pidato Anda. Saya kira itu membawa semangat membangun bersama, membangun lebih kuat lagi. Seperti tagline G20. Saya menantikan kunjungan Anda ke G20 bulan depan," kata Connie dalam video yang diunggah di akun Instagram Connie Bakrie @Connierahakundinibakrie
Putin juga memberikan tanggapan dalam pernyataan tersebut.
“Kami memiliki hubungan yang sangat baik dengan Indonesia. Saya berterima kasih atas undangan ke pertemuan G20 ini. Kami akan memikirkan bagaimana bisa berada di sana. Mungkin saya akan pergi juga, saya akan memikirkannya," katanya.
Rusia, Musuh Bersama Dunia Internasional?
Dalam sejarahnya, Rusia memang selalu berkonflik dengan Barat. Dulu, ketika dekade 70-an, dunia didominasi oleh dua kekuatan besar yakni blok Barat yang dipimpin oleh AS, dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Konflik ini disebut sebagai era cold war atau perang dingin.
Kini, ketegangan yang sama muncul. Meskipun, skala perang Rusia hanya sebatas menginvasi Ukraina, tetapi beberapa sekutu Barat, seperti Uni Eropa dan negara sekitarnya, akhirnya juga harus kena ‘getahnya’.
Invasi geopolitik Rusia ini menimbulkan persoalan lain, seperti krisis energi di Eropa, hingga terganggunnya distribusi pangan global.
Masih emoh untuk mengakhiri perang membuat Putin dan Rusia dikucilkan dalam pergaulan internasional. Meskipun tidak sepenuhnya, terlihat dari sikap Indonesia yang masih mengundang Putin ke KTT G20 dan tanggapan Connie Bakrie di acara Valdai Discussion Club tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa eskalasi geopolitik global telah bergeser di mana banyak negara-negara dunia telah mampu menentukan sikap politiknya masing-masing.
Hal ini karena posisi Rusia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia sangat diperhitungkan. Oleh sebabnya, negara Beruang Merah ini masuk sebagai anggota G20.
Secara ekonomi, Rusia merupakan pemasok utama sejumlah komoditas energi seperti minyak dan gas.
Rusia juga merupakan salah satu eksportir komoditas pangan terbesar dunia seperti gandum dan biji-bijian lain.
Produk Domestik Bruto (PDB) di Rusia diperkirakan senilai USD1.775,80 miliar pada tahun 2021, menurut data resmi dari Bank Dunia. Nilai PDB ini mewakili 1,33 % dari ekonomi dunia.
Mengutip Investopedia, PDB Rusia sebagian besar terdiri dari tiga sektor besar. Di antaranya sektor pertanian kecil yang menyumbang sekitar 5,6% terhadap PDB, diikuti industri dan jasa, yang masing-masing menyumbang 26,6% dan 67,8%.
Dari 1999 hingga 2008, PDB Rusia tumbuh setidaknya 4,7% setiap tahun. Ekspansi ini membuat Rusia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat.
Namun, pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh lonjakan harga komoditas, terutama minyak.
Minyak, gas alam, listrik, dan lainnya secara de facto berada di bawah kendali pemerintah federal.
Negara ini juga merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia, di belakang AS dan Arab Saudi. Negara ini menyumbang 11% dari total produksi minyak dunia.
Pada September 2022, produksi minyak mentah di Rusia diperkirakan mencapai 9,7 juta barel per hari, namun cenderung stabil dalam beberapa bulan sebelumnya. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kekuatan ekonomi Rusia inilah yang membuat banyak negara juga ‘sungkan’ untuk secara terang-terangan mengecam tindakan militer Rusia ke Ukraina, meskipun banyak korban jiwa berguguran.
Bahkan Indonesia sempat akan membeli minyak Rusia untuk mengamankan pasokan energi dalam negeri karena dianggap lebih tersedia dan murah. Tak lama, keputusan ini dikecam oleh banyak pihak.
Secara militer, kekuatan armada Rusia masuk ke jajaran top 5 dunia. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), lima negara dengan pembelanjaan militer terbesar pada 2021 di antaranya Amerika Serikat, China, India, Inggris dan Rusia. Lima negara ini bersama-sama menyumbang 62% belanja militer global.
Rusia meningkatkan pengeluaran militernya sebesar 2,9% di tahun yang sama menjadi USD65,9 miliar.
Ini adalah tahun ketiga berturut-turut pertumbuhan dan pengeluaran militer Rusia mencapai 4,1% dari PDB di tahun tersebut.
"Pendapatan minyak dan gas yang tinggi membantu Rusia untuk meningkatkan pengeluaran militernya pada tahun 2021," ujar Lucie Béraud-Sudreau, Direktur Program Pengeluaran Militer dan Produksi Senjata SIPRI.
Menurut SIPRI, anggaran 'pertahanan nasional' ini menyumbang sekitar tiga perempat dari total pengeluaran militer Rusia. Adapun untuk biaya operasional serta pengadaan senjata pada tahun tersebut, naik 14% lebih tinggi mencapai USD48,4 miliar dari yang dianggarkan pada akhir 2020.
Indonesia juga merupakan importir senjata dari Rusia. Berdasarkan data SIPRI, Indonesia mengimpor senjata senilai 328 juta trend indicator value (TIV) pada 2021. Nilai tersebut meningkat 21,9% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 269 juta TIV.
Adapun impor senjata Indonesia dari Rusia senilai 9 juta TIV, masuk dalam jajaran 6 besar negara asal impor senjata Indonesia pada 2021. Meskipun di top 3 masih didominasi oleh Korea Selatan, AS, dan Perancis.
SIPRI menggunakan nilai tren indikator (TIV) sebagai satuan sistem harga untuk mengukur volume pengiriman dan komponen senjata. (Lihat grafik di bawah ini.)
Jadi, tidak heran mengapa Putin masih akan ‘tarik-ulur’ perihal kedatangannya pada KTT G20 di Bali nanti. Selain Rusia sebenarnya tidak terlalu memiliki kepentingan dalam gelaran tersebut, Putin akan menghadapi selusin musuh yang mungkin akan mengancamnya.
Indonesia sepertinya yang justru memiliki kepentingan dalam upaya mengundang Putin untuk hadir di Bali.
Selain sebagai ekspresi diplomatik RI terhadap Rusia yang mungkin akan berdampak pada hubungan dagang kedua negara, Indonesia akan memperoleh ‘sanjungan’ internasional atas jasa mempertemukan pemimpin dunia untuk mau duduk bersama dan berunding. (ADF)