ECONOMICS

Angkanya Berubah di Awal dan Akhir Tahun, Validitas Data Stok Jagung Dipertanyakan

Michelle Natalia 30/09/2021 14:59 WIB

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) Ali Usman mengatakan bahwa polemik harga jagung tidak lepas dari sengkarut data jagung.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) Ali Usman mengatakan bahwa polemik harga jagung tidak lepas dari sengkarut data. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) Ali Usman mengatakan bahwa polemik harga jagung tidak lepas dari sengkarut data jagung yang disajikan oleh Kementan. Sebab, data jagung tahun 2018 – 2021 stok akhir (ending stock) untuk tahun sebelumnya dan stok awal (beginning stock) tahun berikutnya selalu tidak sama. 

"Bahkan beginning stock di awal tahun selalu tidak sama. Karena itu, perlunya validasi data prognosa jagung. Karena data prognosa jagung yang kurang valid dapat menyebabkan kebijakan pemerintah yang keliru," ujar Ali dalam webinar di Jakarta, Kamis(30/9/2021).

Kemudian, kata dia, perlunya perbaikan data jagung juga terkait dengan perubahan luas lahan untuk tanam jagung selalu tidak sama dari tahun ketahun. Padahal tingkat keberhasilan panen sangat tergantung pada musim dan pupuk yang tersedia. 

"Sedangkan perubahan data jagung harus dikonfirmasi ketika bencana alam menimpa seperti di NTB (Nusa Tenggara Barat) dan NTT (Nusa Tenggara Timur).
Selama ini sentra jagung berada di luar Jawa sedangkan kebutuhan jagung mayoritas ada di pulau Jawa," terangnya

Seperti industri ayam broiler 11.8 juta ton pertahun, layer 3 juta ton pertahun, konsentrat layer 1,7 juta ton pertahun, breeder 2 juta ton per tahun dan lain-lain 1,1 juta ton dengan total kebutuhan 19 juta ton pertahun. Sedangkan prognosis jagung mencapai 22 juta ton di tahun 2021. Artinya Kementan mengklaim surplus 3 juta ton. “Kalau memang surplus seharusnya harga jagung stabil,” ungkap Ali.

Solusi jangka pendek ini untuk menyelamatkan peternak. PATAKA menyarankan Kementan untuk menyerahkan data mentah jagung kepada BPS (Badan Pusat Statistik), hal ini sesuai instruksi Presiden Joko Widodo sehingga diharapkan satu data bidang Pertanian. Sehingga BPS bersama pihak Kementan untuk menghitung luas lahan potensi melalui Kerangka Sampel Area (KSA) seperti beras yang juga telah direvisi. Juga BPS dapat menghitung faktor produksi melalui pendekatan kualitas bantuan bibit, bantuan pupuk hingga potensi produksi jagung berdasarkan cuaca dan iklim. Sehingga produksi atau supply jagung lokal dapat ditentukan dalam negeri berapa.

“Jika memang produksi melimpah data BPS yang bicara, kalau memang jagung kurang ya silahkan mau tingkatkan produksi dalam negeri atau impor,” ujarnya. 

Karena itu, BPS harus segera mengambil langkah untuk menghitung data jagung sementara karena menunggu Sensus Tani 2023 masih lama. BPS dapat menganalisa jagung melalui angka produksi tahun 2010 – 2015. Pasalnya BPS tidak merilis data jagung sejak Kementan menyatakan produksi jagung meningkat sejak 2015. Kementan mengklaim produksi jagung dalam negeri meningkat 19,61 juta ton (2015), 23,58 juta ton (2016) dan 28,92 juta ton (2017) hingga tembus 30 juta ton (2018). Padahal menurut BPS, impor gandum melonjak 6,77 juta ton (2015) dan impor gandum melonjak tajam 9,77 juta ton di tahun berikutnya (2016).

Untuk solusi jangka panjang, PATAKA menyarankan pemerintah segera menerbitkan regulasi “Stabilisasi Harga Industri Perunggasan”. Gejolak industri perunggasan tidak hanya dirasakan peternak layer tetapi peternak mandiri broiler (ayam pedaging) juga mengalami yang sama. Harga pakan tinggi karena harga jagung selalu melonjak di atas Permendag Rp 4.500 per kilogram. Pemerintah dapat menghitung ulang HPP jagung di petani, HPP pakan untuk ternak broiler dan layer. Sehingga Kementan dan Kemendag dapat bersinergi untuk melahirkan regulasi stabilitas harga jagung, telur dan ayam. 

“Yang penting petani peternak dapat menikmati keuntungan dalam berusaha, mereka saling ketergantungan. Jangan sampai saling menekan harga. Jika harga jagung melambung karena broker, silahkan pemerintah bertindak untuk menghapus rantai distribusi yang sangat panjang. Sehingga merugikan petani dan petani yang selama ini dilindungi oleh Undang-undang No.19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” tukas Ali. (TIA)

SHARE