ECONOMICS

Antisipasi Krisis Imbas Konflik di Timur Tengah, INDEF Wanti-Wanti Kebijakan Moneter RI

Suparjo Ramalan 22/04/2024 13:46 WIB

Memanasnya konflik di kawasan timur tengah membuat RI perlu bersiap untuk mengantisipasi krisis yang mungkin terjadi imbas perang.

Antisipasi Krisis Imbas Konflik di Timur Tengah, INDEF Wanti-Wanti Kebijakan Moneter RI. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Memanasnya konflik di kawasan timur tengah membuat RI perlu bersiap untuk mengantisipasi krisis yang mungkin terjadi imbas perang. Salah satunya adalah hambatan suplai minyak dan berbagai komoditas impor yang saat ini diandalkan RI dari kawasan timur tengah. 

“Perdagangan timur tengah itu memegang komoditas yaitu minyak, karena itu kebijakan yang harus diutamakan. Pertama, walaupun pasar di Afrika Utara jalur ke Eropa terhambat, saya kira ke Amerika juga, kita masih punya kutub-kutub lain,” papar Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini dalam sebuah forum diskusi, Senin (22/4/2024). 

Ia menjelaskan timur tengah merupakan mitra strategis Indonesia di sektor energi dan beberapa komoditas, terutama soal minyak mentah dan pasokan bahan baku pupuk. Kawasan tersebut memegang peran penting dalam perdagangan minyak global dan saat ini mulai mengalami hambatan. 

Didik memandang, Indonesia perlu menguatkan perdagangan luar negerinya dengan negara Asia lainnya, saat pasar minyak dari Timur Tengah dan Afrika Utara hingga Eropa mulai terhambat. 

Indonesia, lanjut dia, masih memiliki kutub-kutub ekonomi yang perlu dijaga dan ditingkatkan kerjasamanya. Sehingga, dampak buruk dari peperangan Timur Tengah terhadap perdagangan luar negeri Indonesia masih bisa diminimalisir. 

“Di Asian sendiri kan tidak terganggu, mitra kita Jepang Itu importir yang sangat besar, mitra kita China itu besar juga tidak akan terganggu. Kemudian India dan lain-lain, kutub-kutub ekonomi itu selain Eropa dan AS, harus tetap dijaga sebagai bagian dari yang harus kita jalankan dalam perdagangan luar negeri,” lanjut dia. 

Di sisi moneter, imbas perang Iran-Israel menimbulkan dorongan inflasi karena naiknya harga energi sehingga tekanan daya beli masyarakat bisa semakin besar. Rantai pasok global yang terganggu membuat produsen harus mencari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen.

Selain itu, kebijakan suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama atau lebih tinggi lebih lama, bahkan ada risiko suku bunga semakin menguat.

“Kebijakan Bank Indonesia, tekanan terhadap inflasi ini besar. Dan apabila ada masalah pada moneter dan BI jebol itu 1997 lagi ya (mengulang krisis). Kalau ini Rp 18.000- Rp19.000 (penguatan USD terhadap Rupiah) itu Jokowi bisa jatuh ya, jangan main-main walaupun tinggal beberapa bulan,” tuturnya. 

"Karena itu BI ini harus menjaga betul-betul inflasi ini. Kebijakan yang ketiga dan penting adalah fiskal, fiskal ini adalah instrumen yang langsung bisa dipakai. Dari ribuan triliun ini bisa dipakai, gak bokeh jor-joran seperti yang sekarang dilakukan,” jelas Didik. 

(SLF)

SHARE