ECONOMICS

Bahlil Curhat Pernah Disentil JK, Minta Hilirisasi Nikel Jangan Dibesarkan-besarkan

Atikah Umiyani 09/10/2024 20:20 WIB

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku dirinya pernah disentil oleh Wakil Presiden RI periode 2014-2019 Jusuf Kalla (JK).

Bahlil Curhat Pernah Disentil JK, Minta Hilirisasi Nikel Jangan Dibesarkan-besarkan. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku dirinya pernah disentil oleh Wakil Presiden RI periode 2014-2019 Jusuf Kalla (JK).

Diungkapkan Bahlil, hal itu lantaran pemerintah membesarkan proyek hilirisasi atau pembangunan smelter di dalam negeri. Menurut JK, hasil program hilirisasi nikel di Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pihak luar negeri, sementara nilai tambah yang dihasilkan juga cenderung mengalir ke luar negeri, bukan untuk kepentingan dalam negeri.

"Saya pernah disentil oleh Pak JK 'Lil, itu investasi (hilirisasi) nikel itu jangan dibesarkan-besarkan karena yang dapat untung banyak kan bukan dalam negeri, luar negeri, nilai tambahnya itu luar negeri'," ujar Bahlil dalam acara BNI Investor Summit 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Bahlil menuturkan, mayoritas izin tambang yaitu sekitar 85-90 persen dimiliki oleh putra-putri Indonesia dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, diakuinya, 85 persen industri hilirisasi tambang di Indonesia memang masih dikuasai oleh investor asing.

"Untuk izin tambang 85 persen sampai 90 persen itu dalam negeri, dimiliki oleh putra-putri terbaik Republik Indonesia dan BUMN. Tetapi untuk industrinya itu saya jujur mengatakan dikuasai 85 persen oleh asing," kata dia.

Bahlil menegaskan, salah satu alasan industri hilirisasi tambang di Indonesia masih didominasi oleh asing karena perbankan luar negeri lebih berminat memberikan kredit investasi dibandingkan perbankan dalam negeri. 

Menurutnya, meskipun ada bank lokal yang menawarkan kredit, persyaratan modal awal (equity) yang diminta terlalu besar yakni 30 hingga 40 persen. Jumlah itu sulit dipenuhi oleh sebagian besar pengusaha.

Bahlil juga menambahkan, ketika kredit diperoleh dari bank luar negeri, ada kewajiban bagi debitur untuk membayar pokok dan bunga pinjaman dari pendapatan ekspor. Sehingga, menghabiskan sekitar 60 persen dari pendapatan.

"Jadi apa yang disampaikan oleh Pak JK itu benar, 60 persen DHE (devisa hasil ekspor) kembali ke sana (bank luar negeri) dari hasil industri (hilirisasi). Tetapi itu terjadi karena memang membiayai pokok tambah bunga," ujar Bahlil.

(Dhera Arizona)

SHARE