ECONOMICS

Begini Upaya Jaga Ketahanan Pangan Nasional

Kunthi Fahmar Sandy 23/10/2025 17:51 WIB

Salah satu jalan keluarnya adalah mendorong pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas adaptif terhadap perubahan iklim

Begini Upaya Jaga Ketahanan Pangan Nasional (FOTO:Dok Ist)

IDXChannel - Ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan serius. Pada tahun 2050, Indonesia harus mampu menghasilkan pangan dua kali lipat dari sekarang. Jumlah penduduk meningkat, sementara tekanan lingkungan makin berat akibat pemanasan global. 

Salah satu jalan keluarnya adalah mendorong pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas adaptif terhadap perubahan iklim, tahan serangan hama dan penyakit serta produktivitas tinggi.

“Peran pemuliaan tanaman sangat sentral terhadap peningkatan kualitas dan produktivitas pertanian,” ujar Muhamad Syukur, Ketua Umum Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) Kamis (23/10/2025).

Sejarah menunjukkan, revolusi hijau bermula dari varietas unggul hasil karya pemulia tanaman. Dulu gandum berumur pendek dengan produktivitas tinggi memicu perubahan besar, lalu diikuti padi dan tanaman lain. Tanpa pemuliaan, peningkatan produktivitas hingga sepuluh kali lipat tidak akan mungkin terjadi.

Sejumlah penelitian telah memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat menurunkan produktivitas padi di Asia Tenggara hingga 10–20 persen jika tidak diimbangi inovasi adaptif seperti varietas tahan kekeringan dan banjir.

Sayangnya, Indonesia menghadapi kekurangan serius tenaga pemulia tanaman. Idealnya satu pemulia melayani sekitar 3.000 petani. 

“Dengan 30 juta petani, kita butuh sekitar 10 ribu pemulia. Saat ini yang terdaftar resmi di PERIPI hanya sekitar 1.000 orang, dan yang aktif benar-benar melakukan pemuliaan mungkin hanya seperempatnya,” ujar Syukur.

Kondisi ini, menurutnya, disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, persepsi generasi muda terhadap bidang ini cenderung negatif yaitu dianggap sulit, membutuhkan waktu panjang, dan tidak menawarkan insentif menarik. Pemulia tanaman memang harus kuat di lapangan, punya dasar ilmu genetika dan statistik, dan yang penting idealisme tinggi. Sayangnya, insentif dan penghargaan bagi pemulia belum sepadan dengan kontribusinya. 

"Untuk mempercepat kemajuan, pemerintah perlu membuka kembali formasi dosen pemulia, membuka program studi S1 untuk pemulia tanaman, serta memperluas kesempatan magang di industri benih agar lulusan siap kerja,” kata dia.

Selain itu, pemberian insentif kepada pemulia tanaman oleh pemerintah dan juga non pemerintah seperti Indonesian Breeder Award (IBA 2025) dapat mendorong semangat para pemulia untuk menghasilkan karya-karyanya. IBA 2025 yang akan digelar November 2025 adalah ajang pemberian penghargaan kepada individu atau lembaga yang melakukan pengembangan inovasi, varietas, teknologi pemuliaan atau sumber daya genetik yang berdampak luas bagi pertanian, petani dan ketahanan pangan nasional. 

Selain keterbatasan sumber daya manusia, tantangan lain adalah pendanaan riset yang tidak berkelanjutan. 

Ketika pemuliaan tanaman tidak dapat berhenti karena memerlukan proses yang panjang, di sisi lain setiap tahun pemulia tanaman harus bersaing untuk mendapatkan dana baru. Hal itu membuat program tidak dapat berkelanjutan. 

Hal yang sama disampaikan oleh pakar agribisnis yang juga Guru Besar IPB University Bayu Krisnamurthi. Dalam pertemuan dengan asosiasi perusahaan benih hortikultura Hortindo, dia menegaskan bahwa riset pemuliaan tanaman adalah investasi dan memiliki horizon jangka panjang. Karenanya mesti dibangun kondisi yang mendukung agar investasi tersebut masuk ke Indonesia.

Ketahanan pangan bukan sekadar kemampuan memproduksi cukup makanan, tetapi memastikan setiap rumah tangga dapat mengakses pangan bergizi dalam kondisi lingkungan yang terus berubah. 

"Untuk itu, keberpihakan terhadap riset pemuliaan tanaman bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis bangsa. Kalau kita ingin kedaulatan pangan, kita harus menghargai pemulia sebagai pahlawan benih karena dari merekalah masa depan pangan Indonesia tumbuh," katanya. 

(kunthi fahmar sandy)

SHARE