ECONOMICS

Beri Multiplier Effect Besar, Industri Migas Nasional Perlu Kebijakan Berkelanjutan

Yanto Kusdiantono 27/11/2024 11:33 WIB

Sektor hulu migas Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.

Beri Multiplier Effect Besar, Industri Migas Nasional Perlu Kebijakan Berkelanjutan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.

Berdasarkan data SKK Migas pada tahun ini, rata-rata lifting minyak bumi hanya mencapai 605,5 ribu barel per hari (bph), jauh di bawah target APBN sebesar 660 bph. Sementara itu, lifting gas bumi mencatatkan peningkatan sebesar 2,2 persen menjadi 960 ribu barel setara minyak per hari (boepd) pada 2023.

Sebagai perbandingan, pada 2022 lifting minyak sebesar 612 ribu bph, dan lifting gas 953 ribu barel setara minyak per hari. Adapun di 2021 lifting minya mencapai 660 ribu bph, dan lifting gas 995 ribu barel setara minyak per hari. 

Kondisi ini memerlukan terobosan kebijakan dan regulasi yang mendukung agar sektor migas tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Berdasarkan data Kementerian Keuangan pada 2023, sektor hulu migas menyumbang lebih dari Rp150 triliun terhadap penerimaan negara. Dampak ekonomi sektor ini juga terlihat dari efek ganda terhadap sektor lain, seperti jasa, logistik, dan manufaktur.

"Kita tidak hanya berbicara soal penerimaan langsung, tetapi juga bagaimana sektor ini menjadi katalis pertumbuhan ekonomi," kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Selasa (26/11/2024) malam. 

Menurut Komaidi, dalam beberapa tahun terakhir lifting minyak bumi cenderung menurut, dan bahkan realisasinya di bawah target yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut dia, salah satu penyebab utama turunnya produksi minyak adalah karena cadangan yang terus menyusut.

Berdasarkan data Kementerian ESDM Februari 2024, cadangan minyak hanya tersisa 4,7 miliar barel, sedangkan cadangan gas berada di angka 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Sementara itu, 60 persen wilayah kerja migas tergolong lapangan tua, yang membutuhkan teknologi mahal untuk mempertahankan produksi.

"Tanpa insentif signifikan, eksplorasi baru tidak akan menarik bagi investor," ujar Komaidi.

Regulasi yang tidak fleksibel turut menambah beban sektor hulu migas. PP No 35 Tahun 2017 tentang skema kontrak gross split dianggap terlalu kaku untuk kondisi lapangan marjinal. Pasal 17 dan 31 tidak memberikan cukup fleksibilitas dalam penyesuaian bagi hasil, terutama untuk lapangan dengan risiko tinggi. 

"Mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 2017 juga memerlukan penyederhanaan," katanya.

Dalam catatan Reforminer, kebutuhan devisa impor migas terus meningkat, mencapai Rp380,4 triliun pada 2023, jauh melampaui rata-rata Rp290 triliun selama 2015-2022. Proyeksi RUEN bahkan memperkirakan angka ini melonjak hingga Rp1.391 triliun pada 2030 jika eksplorasi baru tidak segera dimulai.

"Ketergantungan impor tidak hanya membebani devisa negara, tetapi juga menurunkan daya saing kita secara global," ujar Komaidi.

Selain tantangan tersebut, lanjut Komaidi, transisi energi global juga memberikan tekanan besar. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, migas masih akan menyumbang 34-44 persen dalam bauran energi hingga 2050.  Namun, kebijakan fiskal yang ada belum cukup mendukung proyek berbasis gas alam atau energi ramah lingkungan lainnya.

Pengembangan proyek gas yang potensial seperti 43 undeveloped discoveries membutuhkan insentif khusus.

"Kita perlu memberikan insentif tambahan untuk meningkatkan daya tarik investasi, terutama di lapangan marjinal," tambah Komaidi.

Penyederhanaan regulasi juga menjadi prioritas utama untuk memastikan keekonomian proyek migas. Komaidi mencontohkan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100 persen selama tahap eksplorasi. Selain itu, insentif berupa investment credit atau pengembalian modal tambahan untuk proyek berisiko tinggi tengah dikaji.

"Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi migas terhadap penerimaan negara," katanya.

Selain insentif fiskal, pemanfaatan teknologi baru juga menjadi bagian dari solusi. Menurut Komaidi, teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) telah menunjukkan hasil positif di beberapa lapangan tua. Data SKK Migas menunjukkan bahwa penerapan teknologi ini dapat meningkatkan produksi hingga 20 persen di lapangan tertentu.

"Investasi teknologi semacam ini hanya akan datang jika ada kepastian hukum dan regulasi yang mendukung," katanya.

Dalam kajiannya, ReforMiner Institute juga memberikan catatan pada isu transisi energy.  Menurutnya, perlu kebijakan yang seimbang untuk menjalankan proses transisi ke energi bersih dengan tetap memberikan porsi yang proporsional untuk energy berbasis fosil. Salah satunya dengan pemanfaatan gas alam dan panas bumi yang ramah lingkungan.

“Integrasi energi fosil dengan energi baru terbarukan dapat menjadi jembatan menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan. Kita tidak bisa meninggalkan sektor migas begitu saja, tetapi harus mengintegrasikannya dalam transisi energi," ujar Komaidi.

Dengan reformasi kebijakan yang tepat, menurut Komaidi, sektor hulu migas dapat tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Langkah ini akan memastikan keberlanjutan investasi, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan impor.

"Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjawab tantangan ini. Hanya dengan sinergi, kita bisa membawa sektor migas Indonesia ke tingkat yang lebih baik," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu.

(Febrina Ratna)

SHARE