IDXChannel – Insentif di sektor hulu migas yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 35 Tahun 2017 tentang kontrak gross split dan PP No 27 Tahun 2017 terkait perpajakan dinilai sudah tidak relevan. Apalagi ke depan, kepastian global dan persaingan investasi di sektor migas semakin ketat, termasuk di kawasan ASEAN.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengungkapkan, diperlukan fleksibilitas yang lebih besar dalam menentukan kebijakan fiskal untuk menarik investor. Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas global akan mencari potensi bisnis di negara-negara yang lebih ‘ramah’ investasi.
“Kebijakan fiskal ini sangat penting untuk menarik minat investasi di sektor migas baik untuk eksplorasi cadangan baru maupun untuk pengembangan lapangan yang sudah ada," ujar Komaidi dalam diskusi bertajuk "Ngobrol Migas Bareng Reforminer", Selasa (26/11/2024) malam.
Menurut Komaidi, salah satu poin utama yang disoroti adalah skema bagi hasil pada kontrak gross split. Pasal 17 dan Pasal 31 PP No 35/2017 dinilai tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi lapangan marginal dan area sulit dijangkau.
Selain itu, investor kerap mengeluhkan minimnya kepastian hukum terkait mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan.
“Negara-negara lain memberikan insentif lebih kompetitif, seperti investment credit dan pembebasan pajak dividen. Jika Indonesia tidak segera berbenah, kita akan semakin tertinggal,” ujar Komaidi.