Reforminer Institute mencatat, lapangan marginal membutuhkan insentif tambahan untuk menarik investasi. Salah satu opsi adalah percepatan depresiasi biaya proyek dan pengurangan pajak yang berbasis performa. Berdasarkan data SKK Migas 2024, dari total 166 wilayah kerja migas, sebanyak 65 basin masih belum dieksplorasi.
"Minimnya insentif membuat eksplorasi lapangan baru tidak berjalan optimal," katanya.
Selain itu, ujar Komaidi, revisi PP No 27 tahun 2017 juga diperlukan untuk meningkatkan daya saing di tengah ketidakpastian harga energi global. Harga minyak dunia yang fluktuatif terus mengancam keekonomian proyek, terutama untuk wilayah kerja dengan risiko tinggi.
Komaidi menilai bahwa revisi regulasi ini dapat mencakup pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100 persen serta pembebasan PPh untuk barang impor migas. "Investor membutuhkan fleksibilitas fiskal untuk menjaga keekonomian proyek mereka di Indonesia," tegasnya.
Menurut Komaidi, transisi energi juga menjadi tantangan strategis yang membutuhkan penyesuaian kebijakan. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, migas masih akan menyumbang 34-44 persen dalam bauran energi hingga 2050.