IDX Channel - Lembaga kajian energi ReforMiner Institute menilai pengembangan panas bumi sebagai sumber energi masih perlu intervensi kebijakan. Hal ini didasarkan pada masih adanya sejumlah kendala yang dihadapi sehingga investor cenderung lambat berinvetasi di sektor ini.
Beberapa tantangan yang dimaksud antara lain, pertama pembangkit listrik panas bumi memiliki biaya investasi awal yang lebih mahal dibanding jenis pembangkit listrik lain. Kedua, investor masih menilai biaya operasional pembangkit listrik berbasis fosil yang lebih mahal tetap lebih menarik dibandingkan modal awal yang tinggi untuk usaha listrik panas bumi.
"Ketiga, lokasi pengembangan listrik panas bumi dinilai tidak fleksibel karena hanya dapat dibangun/dikembangkan di tempat tertentu sedangkan pembangkit listrik lain dapat dibangun di lokasi yang lebih fleksibel," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam kajian terbarunya yang terbitkan Jumat (9/8/2024).
Dia menambahkan, hal berikutnya yang menjadi tantangan pengembangan panas bumi adalah adanya kesulitan untuk menemukan sumber panas bumi yang menyebabkan biaya eksplorasi menjadi lebih tinggi.
Sekadar diketahui, Indonesia memiliki potensi panas bumi cukup besar yakni sekitar 24.000 mega watt (MW) atau sekitar 40 persen total potensi panas bumi global. Dari jumlah tersebut, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Indonesia baru mencapai sekitar 2.597,51 MW hingga 2023 lalu.
Menurut ReforMiner, melihat adanya sejumlah permasalahan tersebut, maka pengembangan dan pengusahaan panas bumi pada dasarnya belum dapat sepenuhnya menggunakan mekanisme business to business. Sehingga masih memerlukan intervensi kebijakan dari ototitas terkait.
"Kondisi seperti ini tidak hanya dirasakan di Indonesia. Beberapa negara lain yang memiliki potensi panas bumi juga ternyata merasakan masalah yang sama. Sehingga pengembangan dan pengusahaan listrik dari panas bumi relatif lebih lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik yang lainnya," katanya.