ECONOMICS

Bisnis Thrifting Sulit Ditumpas, Produk Fashion Lokal Makin Terancam

Fani Ferdiansyah 19/03/2023 22:00 WIB

Pengawasan Bisnis jual beli baju bekas atau thrifting belum maksimal, terutama di Kabupaten Garut. Hal itu berdampak pada bisnis fashion lokal.

Bisnis Thrifting Sulit Ditumpas, Produk Fashion Lokal Makin Terancam. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pengawasan terhadap bisnis jual beli baju bekas atau thrifting belum maksimal, terutama di Kabupaten Garut. Salah satu kendalanya yaitu terbatasnya kewenangan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut dalam mendeteksi bisnis tersebut.

Sejauh ini, pengawasan hanya berupa pelaporan ketika menemukan bisnis thrifting. Sementara tidak ada kewenangan untuk memberikan sanksi pada pelaku uasaha.

"(Pengawasan) barang beredar itu kewenangannya ada di provinsi. Kami hanya bisa melaporkannya saja," kata Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan ESDM Kabupaten Garut Nia Gania Karyana, Minggu (19/3/2023). 

Dalam pelaporan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pihaknya sangat bergantung dari laporan masyarakat terkait temuan di lapangan. Nia Gania Karyana menjelaskan Disperindag dan ESDM Garut hanya bertugas meneruskan melaporkan temuan ini. 

"Laporan ini kemudian akan ditindaklanjuti oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dari provinsi. Kami tidak memiliki itu (PPNS), sehingga sulit untuk melakukan penyelidikan menyeluruh," ujarnya. 

Seperti diberikana IDXChannel sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data nilai impor baju bekas yang melesat tajam, sekira 607,6% secara tahunan pada Januari hingga September 2022. Tingginya impor baju bekas ini berada di atas nilai impor pakaian rajutan dan non rajutan, yang nilai totalnya mencapai USD272.146 atau kurang lebih Rp4,18 miliar (kurs Rp15.375 per 1 USD) sepanjang 2022 lalu, dengan volume keseluruhan mencapai 26,22 ton. 

Maraknya bisnis thrifting khususnya di kalangan anak muda itu setidaknya telah mengganggu produk fashion yang diproduksi dalam negeri secara lokal. Salah satunya adalah produk fashion 3Second.

Manager Marketing Communication 3Second Hendri Sase mengatakan, melonjaknya aktivitas thirfting telah mengancam eksistensi produk lokal meski dengan persentase yang belum dominan. Hendri Sase pun mendukung kebijakan pemerintah untuk melarang penjualan produk-prodik thrifting.

"Menjamurnya budaya thirfting sangat mengganggu eksistensi brand lokal. Ketika pemerintah melarang produk thrifting masuk sangat membantu brand lokal untuk tetap eksis, tentu kami sangat mendukung kebijakan pemerintah agar produk-produk thrifting ini ditutup," ucap Hendri Sase. 

Menurutnya, bisnis thrifting dapat dengan cepat membanjiri pasar karena menawarkan harga murah untuk setiap produk brand luar negeri ternama. Ia mengakui dampak dari kehadiran thirfting telah menimbulkan dampak bagi penjualan item fashion 3Second, yakni sekitar 20%.

"Produk thrifting adalah brand-brand asing yang diperjualbelikan dengan harga murah. Padahal produk ini barang bekas, namun karena brand luar akhirnya menjadi nilai lebih bagi pemakainya sehingga produk thrifting digemari di Indonesia," katanya.

Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi produsen dan penjual produk fashion dalam negeri. Terlebih lagi kualitas brand lokal tak kalah saing dengan brand asing, tak hanya dari bahan, namun juga desain yang terus mengikuti tren.

Adaptasi dan inovasi, kata Hendri Sase, telah membuat 3Second dapat bertahan dan berkembang sejak brand fashion ini didirikan pada 1997 lalu. Sejauh ini, 3Second telah memiliki 110 cabang di seluruh Indonesia.

(FRI)

SHARE