ECONOMICS

Bos Bulog Ungkap Sederet Pemicu RI Dibayangi Krisis Pangan

Tangguh Yudha 31/07/2024 16:03 WIB

Meski Indonesia disebut negara agraris, namun isu krisis pangan semakin hari kian mengkhawatirkan.

Bos Bulog Ungkap Sederet Pemicu RI Dibayangi Krisis Pangan (foto mnc media)

IDXChannel - Bayang-bayang krisis pangan terus menghantui banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia disebut negara agraris, namun isu krisis pangan semakin hari kian mengkhawatirkan.

Direktur Utama Bulog, Bayu Krisnamurthi mengatakan, ada beberapa hal yang membuat Indonesia berada di pinggir jurang krisis pangan. Pertama adalah perubahan iklim yang menghambat pertumbuhan tanaman pangan hingga menyebabkan penurunan produksi pertanian.

Kedua, karena kondisi tanah di Indonesia yang semakin hari semakin kehilangan tingkat kesuburannya lantaran eksploitasi yang tinggi. Kondisi ini menurut Bayu, terjadi di banyak lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa.

"Masalah terbesar dalam konteks ini adalah kondisi tanah yang kehilangan tingkat kesuburannya. Ditunjukkan oleh badan riset bahwa c-organik tanah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang berada di ambang batas 2 persen itu jumlahnya sangat banyak," kata Bayu, Rabu (31/7).

Selain karena perubahan iklim dan masalah kesuburan tanah, hal lainnya yang menempatkan Indonesia di gerbang krisis pangan adalah semakin berkurangnya jumlah petani. Parahnya lagi, sebagian petani saat ini adalah penduduk dengan usia tua.

"Jumlah petani semakin menurun dan yang tersisa sebagian besarnya adalah yang berusia tua. Sektor pertanian menjadi hal yang tidak menarik bagi generasi muda. Ini akan menjadi masalah serius juga bagi kita," lanjut Bayu.

Dampak serius perubahan iklim terhadap ketahanan pangan memang semakin terasa. Dalam periode Januari hingga April 2024, Indonesia telah mengalami penurunan produksi tanaman pangan, misalnya beras sebesar 17,74 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Data Bulog mencatat, sepanjang 2024, produksi beras nasional hanya menyentuh angka 18,55 juta ton. Padahal di paruh pertama 2023, produktivitas beras nasional mampu mencapai angka yang jauh lebih besar, yakni hingga 22,55 juta ton.

Menurut Bayu, tetap menggunakan cara konvensional dalam produksi beras justru akan menurunkan harga dan menaikkan harga pangan. Untuk itu, diperlukan intervensi teknologi untuk menjaga ketahanan pangan.

"Kita sadari jumlah penduduk akan terus bertambah Indonesia. Pertumbuhannya 50 juta jiwa dalam waktu 20-50 tahun ke depan. Kami memproyeksikan di 2050, jumlah produksi beras akan turun hingga 20 persen dan harga akan naik 20 persen," ujar Bayu.

"Namun dengan menggunakan teknologi, cukup memberikan prospek yang baik, produktivitas beras menjadi lebih tinggi," kata Eks Wakil Menteri Perdagangan itu. 

(Fiki Ariyanti)

SHARE