Bukan Krisis, Gelombang Efisiensi Perusahaan Digital Dinilai Jadi Arah Baru Pematangan Pasar
efisiensi yang ditempuh bukan sekadar pemangkasan biaya, melainkan langkah strategis untuk memperbaiki struktur bisnis.
IDXChannel - Sinyal mengkhawatirkan dilakukan oleh sejumlah perusahaan teknologi dan digital global dengan silih berganti melakukan efisiensi lewat pengurangan tenaga kerja.
Meski demikian, tren tersebut dinilai tidak bisa serta-merta dimaknai secara negatif, karena secara tidak langsung juga membawa imbas positif terhadap prospek bisnis teknologi dan digital di masa mendatang.
"Langkah efisiensi ini bukan pertanda krisis, melainkan lebih pada indikasi kematangan pada para pelaku industrinya. Arah pengembangannya berubah arah, bukan lagi menuntut pertumbuhan cepat, tapi bergeser ke pengecilan biaya yang membawa hasil nyata, dan membuat si pelaku (bisnis) lebih bisa bertahan," ujar Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, dalam keterangan resminya, Jumat (7/11/2025).
Perubahan arah pengembangan tersebut, menurut Nailul, tergambar jelas dengan pendekatan strategi baru yang dilakukan sejumlah reksada global, seperti Meta dan Amazon, yang diketahui telah memangkas puluhan ribu tenaga kerjanya.
Di lain pihak, para pelaku global tersebut juga mengalihkan fokus pada pengembangan teknologi inti, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), bisnis AWS yang bernilai tinggi hingga perikanan digital.
"Langkah-langkah yang semula dianggap drastis ini pada akhirnya terbukti berbuah positif. Laba bersih Meta melonjak signifikan dan sahamnya menembus rekor tertinggi dalam dua tahun terakhir," ujar Nailul.
Tren serupa, menurut Nailul, juga terjadi di Indonesia, di mana pasca masa ekspansi besar-besaran selama pandemi, banyak perusahaan digital nasional mulai juga menata ulang langkahnya.
Gelombang efisiensi yang sempat dilakukan oleh Shopee, Gojek, dan Tokopedia menjadi penanda perubahan paradigma, dari semula growth at all cost menuju keseimbangan antara skala dan keberlanjutan.
"Blibli menjadi contoh transformasi nyata di dalam negeri. Berdasarkan laporan kinerja hingga September 2025, mereka mencatat pendapatan bersih Rp12,24 triliun, naik dibanding periode sama 2024 yang sebesar Rp12,13 triliun," ujar Nailul.
Meski masih membukukan rugi bersih Rp1,86 triliun, namun arah strategi Blibli nampak jelas telah bergeser dari ekspansi agresif menuju efisiensi dan integrasi ekosistem digital yang lebih solid.
Nailul menjelaskan, Blibli telah memperkuat sinergi dengan tiket.com, membangun jaringan lintas sektor dari e-commerce hingga pariwisata dan gaya hidup sebagai pondasi pertumbuhan jangka panjang.
Namun di lain pihak, efisiensi yang ditempuh bukan sekadar pemangkasan biaya, melainkan langkah strategis untuk memperbaiki struktur bisnis.
"Blibli melakukan pemberian diskon yang lebih terarah, bukan masif seperti sebelumnya. Strategi ini justru meningkatkan pendapatan karena lebih tepat sasaran," ujar Nailul.
Pendekatan efisiensi serupa Blibli ini, dikatakan Nailul, juga diikuti pemain lain seperti GoTo dan Bukalapak yang telah menyesuaikan strategi untuk memperkuat unit ekonomi.
GoTo, misalnya, telah melakukan penataan pasca merger dengan TikTok Shop. Sementara Bukalapak juga telah beralih ke fokus penjualan produk digital.
Namun, Nailul juga tidak menampik bahwa gelombang efisiensi sering kali juga diiringi konsekuensi sosial, berupa pemangkasan tenaga kerja.
"PHK memang menjadi bagian dari proses penyesuaian agar perusahaan bisa bertahan dan tetap kompetitif. Tapi ketika pendapatan dan profit mulai stabil, saya yakin perusahaan e-commerce akan kembali merekrut SDM," ujar Nailul.
Nailul meyakini bahwa adanya siklus efisiensi ini merupakan proses transisi alami bagi sebuha perusahaan untuk bertransformasi menuju bisnis yang lebih sehat.
Selama ini, lanjut Nailul, perusahaan digital hidup dari dana investor untuk membiayai diskon demi menarik konsumen. Namun dalam perkembangannya, pihak investor tentu mulai menuntut keuntungan nyata, sehingga mau tidak mau efisiensi menjadi sebuah keharusan.
Tak hanya itu, perubahan arah ini juga mencerminkan pergeseran ekspektasi investor global, di mana pasar kini lebih menghargai
disiplin finansial dan efisiensi biaya dibanding pertumbuhan agresif tanpa arah.
"Ini menjadi tanda bahwa era bakar uang telah berakhir. Sebaliknya, fase efisiensi ini adalah momentum penting bagi industri digital Indonesia untuk tumbuh lebih sehat dan mandiri," ujar Nailul.
(taufan sukma)