Buntut Kasus Rafael dkk, Sri Mulyani Didesak Reformasi Besar-besaran di Kemenkeu
Kemenkeu dinilai perlu melakukan pembenahan diri atau reformasi birokrasi pasca sejumlah kasus yang melibatkan oknum pejabat di Kemenkeu.
IDXChannel - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dinilai perlu melakukan pembenahan diri atau reformasi birokrasi pasca sejumlah kasus yang melibatkan oknum pejabat di lingkup instansi yang dipimpin oleh Sri Mulyani tersebut.
Ekonom Anggito Abimanyu mengatakan, Kemenkeu harus melakukan reformasi birokrasi dengan melakukan pembenahan terhadap sistem melalui pemangkasan terhadap struktur organisasi yang dianggap terlalu besar.
“Saya berpatokan dengan kementerian keuangan di negara lain. Dari sisi kendali, jumlah Eselon I, struktur organisasi kita cukup besar,” ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (6/4/2023).
Menurutnya, pemangkasan dapat dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap organisasi yang kurang relevan dengan tugas, pokok dan fungsi Kemenkeu. Proses kajian tersebut dapat melibatkan konsultan yang berada di luar dari lingkup instansi tersebut untuk menghindari keputusan yang bias.
Anggito pun memaklumi proses pengkajian yang akan membutuhkan waktu yang lama dan mengatakan pembenahan sistem dapat diterapkan secara keseluruhan pada tahun 2024.
Dia mencontohkan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bisa dipecah dari Kemenkeu dan dibuat sebagai lembaga yang berdiri sendiri atau digabung dengan lembaga lainnya yang masih berkaitan.
Keterlibatan bea cukai dan struktur organisasi yang besar dinilai membuat Kemenkeu tidak bisa melakukan pengawasan secara penuh. Hal tersebut pun dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk melakukan transaksi yang tidak wajar.
“Prosesnya akan lama, itu wajar. Yang penting Kemenkeu bisa memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa pembenahan internal memang benar-benar dilakukan,” jelasnya.
Selain itu, Kemenkeu dinilai harus memiliki peraturan atau regulasi khusus tentang rangkap jabatan sebagai komisaris di sejumlah badan usaha milik negara (BUMN).
Menurut Anggito, Kemenkeu sudah memiliki beban kerja yang besar, sehingga rangkap jabatan tidak dibutuhkan karena berpotensi untuk mengganggu pelayanan yang diberikan. Hal tersebut juga berpotensi menyebabkan timbulnya konflik kepentingan.
“Yang jadi masalah bukan rangkap jabatannya, karena memang menjalankan tugasnya sebagai pengelola aset. Tapi ketika ada bonus dan rangkap gaji yang diberikan dengan jumlah yang tidak wajar yang berpotensi menciptakan terjadinya konflik kepentingan,” pungkasnya.
(FAY)