Chevron Beli Hess Senilai Rp865 Triliun, Dapat Akses ke Blok Minyak Raksasa
Setelah hampir dua tahun, Chevron tampaknya akan menutup kesepakatan senilai USD53 miliar atau sekitar Rp865 triliun untuk membeli perusahaan rivalnya, Hess.
IDXChannel - Setelah hampir dua tahun, Chevron tampaknya akan menutup kesepakatan senilai USD53 miliar atau sekitar Rp865 triliun untuk membeli perusahaan rivalnya, Hess (HES). Langkah tersebut sekaligus mengamankan akses ke salah satu aset dengan temuan cadangan minyak raksasa.
Pada Jumat (18/7/2025), panel arbitrase di Kamar Dagang Internasional di Paris memutuskan memberi lampu hijau bagi Chevron untuk menutup akuisisi saham penuh Hess, sekaligus menyingkirkan pesaing utamanya, ExxonMobil dalam pembelian saham tersebut.
Keputusan tersebut dan mengakhiri salah satu kebuntuan terbesar yang dialami industri minyak dan gas dalam 50 tahun terakhir.
Kesepakatan tersebut, yang menjadi ajang persaingan antara Chevron dan Exxon sejak 2023, berfokus pada 30 persen saham Hess di blok ladang minyak lepas pantai Stabroek yang kaya akan sumber daya alam di lepas pantai utara Guyana. Lahan tersebut diperkirakan menyimpan lebih dari 11 miliar barel minyak, menurut laporan dari Reuters.
Ini adalah "aset yang hanya terjadi sekali seumur hidup," ujar David Sweeney, salah satu pimpinan sektor energi dan sumber daya global di firma hukum internasional Clifford Chance, kepada Yahoo Finance pada Sabtu (19/7/2025).
Proyek ini juga berperan dalam mengubah Guyana, yang secara historis merupakan salah satu negara termiskin di Barat, menjadi ekonomi dengan pertumbuhan tercepat kedua di dunia, menurut data terbaru dari Dana Moneter Internasional yang diterbitkan pada April.
"Penggabungan dua perusahaan besar Amerika ini menyatukan yang terbaik di industri ini," ujar Chairman dan CEO Chevron, Mike Wirth, dalam pernyataan publik dari perusahaan tersebut.
“Kombinasi ini meningkatkan dan memperluas profil pertumbuhan kami hingga dekade berikutnya, yang kami yakini akan mendorong nilai jangka panjang yang lebih besar bagi para pemegang saham,” tambahnya.
Saat dihubungi untuk memberikan komentar, Hess merujuk pada pernyataan publik Chevron.
Adapun Exxon, yang saat ini mengoperasikan blok tersebut dan memegang 45 persen saham, telah bermitra dengan Hess dalam aktivitas eksplorasi di Guyana sejak 2014, ketika Hess membeli saham Shell (SHEL) dalam proyek tersebut. Exxon juga bermitra dengan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), yang memegang 25 persen saham.
“Kami tidak setuju dengan interpretasi panel ICC tetapi menghormati proses arbitrase dan penyelesaian sengketa,” tulis Exxon dalam sebuah pernyataan setelah putusan tersebut.
“Mengingat nilai signifikan yang telah kami ciptakan dalam pengembangan sumber daya Guyana, kami yakin kami memiliki kewajiban yang jelas kepada investor kami untuk mempertimbangkan hak preemption kami guna melindungi nilai yang kami ciptakan melalui inovasi dan kerja keras kami di saat tidak seorang pun tahu seberapa sukses usaha ini nantinya,” tulis pernyataan tersebut.
Tak lama setelah Chevron mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi Hess senilai USD53 miliar pada Oktober 2023, Exxon bergerak untuk memblokir kesepakatan tersebut, dengan alasan bersama CNOOC bahwa perjanjian kemitraannya dengan Hess memberi Exxon hak preemptive untuk menyamai tawaran Chevron atas 30 eprsen saham Hess. Perdebatan tersebut telah menjadi perdebatan utama di antara panel arbitrase ICC.
Di antara perusahaan-perusahaan besar, perusahaan minyak dan gas terintegrasi di dunia seperti Exxon, Chevron, BP, Shell, TotalEnergies, dan Eni, Exxon dan Chevron memimpin. Namun, kesepakatan ini dipandang sebagai kunci kesuksesan Chevron, karena perusahaan tersebut tertinggal dari Exxon dalam beberapa tahun terakhir.
Pendapatan Chevron turun dari USD24,7 miliar pada 2023 menjadi USD18,3 miliar pada 2024, dan pada bulan Februari tahun ini, perusahaan mengumumkan niatnya untuk memangkas hingga 20 persen tenaga kerjanya, atau 8.000 karyawan, pada akhir tahun depan.
Harga saham Chevron juga sebagian besar tertinggal dari Exxon, tumbuh sekitar 71 persen selama lima tahun terakhir dibandingkan dengan kenaikan Exxon yang hampir mencapai 150 persen.
(Febrina Ratna Iskana)