ECONOMICS

Dilema Pasar Ekonomi Digital Nasional, Potensi Besar dengan Persaingan Ketat

Dovana Hasiana/MPI 21/02/2023 04:44 WIB

Google bersama Temasek dan Bain & Company merilis laporan 'Economy SEA' tentang kekuatan ekonomi digital di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.

Dilema Pasar Ekonomi Digital Nasional, Potensi Besar dengan Persaingan Ketat (foto: MNC Media)

IDXChannel - Pasar ekonomi digital di Indonesia diyakini masih menawarkan potensi yang sangat menjanjikan.

Namun justru karena itu, persaingan pasar di sektor industri tersebut dipastikan juga sangat ketat, sehingga membutuhkan daya saing yang benar-benar mumpuni untuk dapat bertahan di ceruk pasar tersebut.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, Senin (20/2/2023).

Kondisi yang cukup dilematis tersebut, menurut Tauhid, bakal menyebabkan turunnya angka prediksi nilai total transaksi digital atau gross merchandise volume (GMV). 

Sebelumnya, Google bersama Temasek dan Bain & Company merilis laporan 'Economy SEA' tentang kekuatan ekonomi digital di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.

Dalam laporan tersebut, GMV Indonesia diprediksi hanya akan tumbuh sebesar 130 miliar dolar AS. Padahal dalam laporan setahun sebelumnya, GMV Indonesia sempat diprediksi bakal meningkat menjadi 146 miliar dolar AS pada 2025 mendatang.

"Walaupun ekonominya tetap diprediksi tumbuh, tapi kita harus waspada dengan penurunan tersebut," ujar Tauhid.

Menurut Tauhid, faktor pertama yang menyebabkan penurunan angka tersebut adalah dampak ekonomi yang diberikan oleh pandemi. Tauhid melihat adanya stagnasi atau kejenuhan dari sistem penjualan online karena sebagian besar ekonomi masyarakat belum pulih. 

Sementara faktor kedua adalah persaingan yang ketat dan gugurnya startup. Tauhid menilai banyaknya pelaku ekonomi digital memang memudahkan dan memberikan pilihan yang beragam bagi masyarakat.

Namun, mekanisme pasar akan bekerja untuk melakukan seleksi terhadap perusahaan tersebut. 

"Ujung-ujungnya, produk yang paling efisien, paling murah dan produknya berkualitas adalah yang dikenal oleh publik. Apalagi jika produk yang ditawarkan memang sesuai dengan kebutuhan harian masyarakat, itu yang akan bertahan," tutur Tauhid.

Tauhid menjelaskan, faktor kedua semakin diperparah dengan adanya arus modal keluar (capital outflow) karena inflasi dan kenaikan suku bunga di beberapa negara. Tauhid menilai startup sedang dalam masa musim dingin, dimana mereka kesulitan untuk mendapatkan pendanaan.  

Karenanya, Tauhid berharap pemerintah bisa mendorong pelaku usaha untuk mendapatkan pendanaan yang bersumber dari domestik.

"Kalau dari luar, sekarang kan inflasi tinggi dan saham lagi drop, akhirnya banyak yang gugur karena investasinya dicabut," tegas Tauhid. (TSA)

SHARE