ECONOMICS

Dirjen Jadi Tersangka Gratifikasi, Ekonom: Dampaknya ke Jutaan Konsumen

Athika Rahma 21/04/2022 11:18 WIB

Tindakan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag berinisial IWW sebagai tersangka diapresiasi.

Dirjen Jadi Tersangka Gratifikasi, Ekonom: Dampaknya ke Jutaan Konsumen. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Tindakan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag berinisial IWW sebagai tersangka diapresiasi sejumlah pihak. Dia diduga terlibat dalam kasus pemberian fasilitas ekspor minyak sawit (CPO) bersama tiga tersangka lainnya.

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai tindakan yang dilakukan para tersangka ini merugikan sejumlah konsumen dan pelaku usaha, bahkan mereka harus membayar mahal akibat kelangkaan yang terjadi pada minyak goreng.

"Dampaknya jutaan konsumen dan pelaku usaha kecil harus membayar kelangkaan pasokan minyak goreng kemasan dengan harga yang sangat mahal," beber Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (21/4/2022).

Menurutnya, proses pengungkapan mafia yang berlangsung cukup lama dinilai 'wajar', sebab pelakunya merupakan orang dalam dari kementerian tersebut, yang semestinya melakukan pengawasan terhadap tata niaga minyak goreng.

"Wajar apabila proses pengungkapan mafia minyak goreng butuh waktu yang lama atau hampir 1 bulan, kalau dihitung dari statemen Menteri Perdagangan yang akan umumkan tersangka pada 21 Maret 2022 lalu,"

Atas alasan itu, dia menyarankan agar Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, dapat mengundurkan diri dari jabatannya. Bhima menilai, langkah ini cukup perlu mengingat dia dinilai gagal melakukan pengawasan internal.

"Menteri Perdagangan sebaiknya mengundurkan diri karena gagal melakukan pengawasan internal," ujarnya.

Kasus suap ini bukti kejahatan terstruktur, terorganisir untuk melindungi korporasi minyak goreng yang selama ini menikmati marjin keuntungan yang sangat besar ditengah naiknya harga CPO internasional.

Menurut Bhima, akar masalah munculnya suap di internal Kementerian Perdagangan karena disparitas harga minyak goreng yang diekspor dengan harga didalam negeri terlalu jauh. Kondisi ini dimanfaatkan para mafia untuk melanggar kewajiban DMO (Domestic Market Obligation).

Artinya, yang salah bukan kebijakan DMO untuk penuhi pasokan didalam negeri tapi masalahnya di pengawasan. Pasokan minyak goreng kemasan memang seharusnya aman ketika HET dan DMO diterapkan. Buktinya, stok minyak goreng hasil DMO per 14 Februari-8 Maret 2022 telah mencapai 573.890 ton, melebihi kebutuhan bulanan. Kalau terjadi kelangkaan maka jelas ada kongkalikong produsen dengan oknum kementerian.

"Sekarang dengan kebijakan subsidi di minyak goreng curah, masalahnya akan bergeser dari suap kemasan ke curah. Apalagi minyak goreng curah rantai distribusinya lebih panjang dari kemasan. Butuh hingga 7 rantai distribusi dari produsen curah hingga ke pedagang di pasar tradisional," tuturnya.

Kepatuhan pengusaha minyak goreng dalam produksi maupun distribusi minyak curah pun dipertanyakan. "Kalau bisa jual minyak goreng kemasan yang harga per liter nya Rp25.000 buat apa jual minyak curah? Alhasil kebijakan subsidi minyak goreng curah bisa berakibat kelangkaan, antrian panjang hingga suap menyuap baru," ungkap Bhima.

Bhima mendesak agar pemerintah segera membekukan izin operasi dan izin ekspor perusahaan minyak goreng tersebut. Pemerintah juga disarankan lakukan evaluasi terhadap HGU dua perusahaan tersebut, dan membuka opsi mengalihkan HGU.

Langkah berikutnya adalah mendorong Kejagung mengusut jaringan pelaku lain karena tidak mungkin hanya dua perusahaan yang lakukan suap terkait perizinan ekspor minyak goreng.

"Pemain besar yang menguasai 70 persen lebih pasar minyak goreng harus dilakukan penyidikan. Pelaku di internal pemerintahan yang terlibat harus dibongkar secara tuntas sehingga kasus ini tidak terulang kembali," pungkasnya. (TYO)

SHARE