Dolar AS Makin Perkasa, Bagaimana Dampaknya untuk RI?
Sinyal anjloknya beberapa mata uang dunia termasuk Poundsterling Inggris dan Yen Jepang terhadap dolar AS perlu semakin diwaspadai dampaknya.
IDXChannel - Aksi hawkish bank sentral AS (The Fed) dengan terus menaikkan suku bunga membuat nilai tukar dolar jadi semakin menguat. Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa nilai tukar mata uang dilaporkan anjlok terhadap dolar.
Sebagai contoh, poundsterling Inggris, yang sempat merosot hampir 2,6% ke level terhadap dolar AS pada Jumat (23/9), terendah sejak 1985 akibat kebijakan pemotongan pajak penghasilan yang diumumkan di hari yang sama.
Sehari sebelumnya, nilai tukar yen Jepang juga melemah ke level terendah terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis (22/9). Kondisi ini kembali membawa yen menyentuh level terendah dalam 24 tahun terakhir. Kondisi ini menempatkan Yen menjadi salah satu mata uang yang paling terpuruk di tahun ini.
Pada perdagangan Jumat (23/9/2022) pagi, yen masih menyentuh JPY143.6/USD, mengutip Yahoo Finance. Setelah sebelumnya yen sempat menyentuh angka 144,4/USD pada 14 September 2022 dan berada di level terlemah sejak September 1998.
Tak hanya Inggris dan Jepang, dampak menguatnya dolar juga berdampak bagi pergerakan nilai tukar rupiah. Kurs rupiah terkoreksi terhadap dolar AS menyentuh level terendahnya sejak hampir 2 tahun pada perdagangan Senin (26/9/2022).
Rupiah melemah pada pembukaan perdagangan sebanyak 0,1% ke Rp15.050/USD. Kemudian, rupiah kembali terkoreksi sebesar 0,5% ke Rp15.110/USD pada pukul 11:00 WIB. Posisi tersebut menjadi level terendahnya sejak 28 April 2020.
Nilai tukar rupiah di pasar spot berhasil rebound di awal perdagangan hari ini. Kamis (29/9), rupiah spot dibuka di level Rp15.227,75 per dolar Amerika Serikat (AS).
Ini membuat rupiah menguat 0.21%% dibandingkan dengan penutupan Rabu (27/8) di Rp15.267 per dolar AS, mengutip Reuters. (Lihat tabel di bawah ini).
Sumber: Trading Economics
Bagaimana Dampaknya?
Meskipun kenaikan suku bunga bertujuan meredam inflasi di AS, akan tetapi efek sampingnya memperburuk inflasi di negara lain--tidak hanya negara pasar berkembang.
Mengutip Investopedia, terdapat dua kekhawatiran utama akibat kenaikan suku bunga dan dolar yang lebih kuat di pasar negara berkembang.
Pertama, kekhawatiran akan arus modal keluar. Kedua, suku bunga yang lebih tinggi akan membuat utang luar negeri, baik bisnis maupun pemerintah, menjadi lebih mahal.
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), sebelumnya telah memperingatkan efek "spillover" dari kenaikan suku bunga Fed yang kemungkinan akan berdampak pada volatilitas di pasar keuangan, terutama di pasar negara berkembang.
Terlebih kenaikan suku bunga ini terkesan datang di waktu yang tidak tepat. Perbaikan ekonomi yang terpuruk pasca pandemi sedang terjadi di banyak negara. Terutama negara berkembang yang bergantung pada pariwisata.
Sebagian besar pasar negara berkembang juga sangat bergantung pada aliran dana investasi asing termasuk dari AS dan negara maju lainnya. Modal ini yang akan mendorong pertumbuhan bisnis dan ekonomi. Modal asing inilah yang membantu mengurangi defisit fiskal atau transaksi berjalan.
Namun, jika posisi dolar menguat terhadap suatu nilai mata uang, maka akan berdampak pada kaburnya investor asing atau yang lebih dikenal sebagai capital outflow.
Tingginya ketidakpastian global ini berpengaruh buruk terhadap pasar keuangan Indonesia. Menurut data Trading Economics, Indonesia mencatat defisit transaksi modal sebesar USD1,08 miliar pada triwulan II 2022. (Lihat tabel di bawah ini).
Sumber: Trading Economics
Sementara BI mencatat arus modal keluar (capital outflow) didominasi oleh obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Menurut data Kementerian Keuangan, per 26 September, dana investor asing yang keluar dari SBN hingga Rp150,66 triliun secara year to date (YTD).
Sementara dalam sebulan, pemerintah kehilangan modal asing Rp23,81 triliun, turun menjadi Rp740,68 triliun atau menurun 0,59% dibanding bulan Agustus 2022 yang mencapai Rp764,49 triliun.
Kelemahan kedua dari suku bunga AS dan nilai tukar dolar yang lebih tinggi di negara berkembang adalah meningkatnya biaya utang luar negeri.
Pemerintah dan perusahaan di negara berkembang mengambil keuntungan dari pinjaman berbiaya rendah untuk menopang keuangan mereka.
Hal ini menjadi masalah ganda karena devaluasi mata uang lokal yang disebabkan oleh pembalikan arus modal dapat mempersulit pembayaran utang dolar tersebut.
Perusahaan dan bank yang meminjam dalam dolar dapat menghadapi tekanan yang lebih besar jika tidak ada peningkatan pendapatan.
Pada tahun 2021, beberapa negara berada di posisi paling rentan terhadap kenaikan suku bunga The Fed karena tingginya tingkat utang dalam mata uang asing. Di antaranya adalah Hungaria, Peru, Turki, dan Polandia.
Di tahun ini, sinyal ambruknya beberapa mata uang dunia termasuk poundsterling Inggris dan yen Jepang terhadap dolar AS perlu semakin diwaspadai dampaknya, termasuk meningkatnya risiko capital outflow Indonesia di hari-hari mendatang. (ADF)