Dorong Daya Beli, Kemenperin Upayakan Sejumlah Insentif untuk Industri Otomotif
Industri otomotif membutuhkan tambahan insentif untuk menjaga kinerja penjualan di 2025.
IDXChannel - Industri otomotif membutuhkan tambahan insentif untuk menjaga kinerja penjualan di 2025. Hal itu seiring besarnya tantangan yang dihadapi, terutama dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dan penerapan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) serta bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Setia Darta mengatakan pada 2024, industri otomotif kontraksi sebesar 16,2 persen. Penurunan ini disebabkan oleh pelemahan daya beli masyarakat serta kenaikan suku bunga kredit kendaraan bermotor.
Industri otomotif, kata dia, diperkirakan menghadapi tantangan yang lebih besar pada 2025, seiring implementasi kebijakan kenaikan PPN serta penerapan opsen PKB dan BBNKB.
“Menyadari pentingnya sektor otomotif bagi kontribusi ekonomi Indonesia dan tantangan yang dihadapi pada tahun 2025, Kemenperin secara aktif menyampaikan usulan insentif dan relaksasi kebijakan kepada pemangku kepentingan terkait,” ujar Setia dalam diskusi Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah yang digelar di Jakarta, Selasa (14/1/2025).
Setia mengungkapkan, beberapa usulan insentif dari Kemenperin meliputi PPnBM ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan hybrid (PHEV, full, mild) sebesar 3 persen.
Insentif PPN DTP untuk kendaraan EV sebesar 10 persen untuk mendorong industri kendaraan listrik, dan penundaan atau keringanan pemberlakuan opsen PKB dan BBNKB.
"Penundaan atau keringanan pemberlakuan opsen PKB dan BBNKB, di mana saat ini telah terdapat 25 provinsi yang menerbitkan regulasi terkait relaksasi opsen PKB dan BBNKB," kata Tata.
25 provinsi itu antara lain Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali, Kepri, Sumatera Utara (Sumut), Sumatra Selatan (Sumsel), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi Selatan (Sulsel).
Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan dukungan nyata terhadap keberlanjutan industri otomotif nasional serta menjaga daya saingnya di pasar domestik maupun global.
Sementara itu, Pengamat Otomotif LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Riyanto menyatakan, pasar mobil membutuhkan intervensi cepat, karena kondisi semakin berat. Adapun perbaikan fundamental, berupa penguatan daya beli dan akselerasi pertumbuhan ekonomi merupakan solusi jangka panjang.
Berdasarkan hitungan LPEM FEB UI, dengan asumsi opsen pajak diberlakukan di semua wilayah, tarif PKB maksimum 1,2 persen dan BBNKB 12 persen sehingga total pajak mobil naik menjadi 48,9 persen dari harga dibandingkan sebelumnya sebesar 40,25 persen.
Akibatnya, harga mobil baru naik 6,2 persen di tengah belum pulihnya daya beli masyarakat.
"Dengan elastisitas minus 1,5, penjualan mobil tahun ini diprediksi turun 9,3 persen menjadi sekitar 780 ribu unit di 2025,"ujarnya.
Salah satu opsi insentif yang bisa dipertimbangkan pemerintah adalah diskon PPnBM untuk mobil berpenggerak 4x2 dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 80 persen, seperti yang dilakukan pada 2021.
"Dengan diskon PPnBM 5 persen alias tarif PPnBM 10 persen, harga mobil bisa diturunkan 3,6 persen, yang bisa memicu tambahan permintaan 53.476 unit," kata dia.
(NIA DEVIYANA)