ECONOMICS

DPR Pertanyakan Anggaran Pendidikan Tak Capai 20 Persen, Sri Mulyani Beberkan Alasannya

Anggie Ariesta 22/07/2025 15:46 WIB

Sri Mulyani dan Wakil Ketua Komisi XI DPR berdebat terkait alokasi anggaran pendidikan yang tak pernah mencapai 20 persen dari APBN.

DPR Pertanyakan Anggaran Pendidikan Tak Capai 20 Persen, Sri Mulyani Beberkan Alasannya. (Foto: Inews Media Group)

IDXChannel - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berdebat dengan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Frederic Palit dalam rapat kerja Komisi XI DPR. Perdebatan keduanya terkait alokasi anggaran pendidikan yang tak pernah mencapai 20 persen dari APBN.

Padahal dalam amanat konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2007, anggaran pendidikan seharusnya 20 persen dari APBN. Dolfie pun mempertanyakan realisasi anggaran pendidikan pada 2024.

Ia memaparkan data bahwa proporsi anggaran pendidikan stagnan di bawah ambang konstitusional sejak sebelum putusan MK, yaitu 18 persen pada 2007, lalu turun menjadi 15,6 persen pada 2008.

>

Setelah lebih dari satu dekade, proporsi tersebut masih belum bergerak signifikan yaitu sebesar 15 persen pada 2022, naik sedikit menjadi 16 persen pada 2023, dan 17 persen pada 2024. Bahkan, desain APBN 2025 menunjukkan angka yang sama.

"Tidak bergerak Bu Menteri ternyata. Sudah dua kali pemerintahan SBY, dua periode pemerintahan Jokowi, tidak berubah," kata Dolfie saat rapat kerja Komisi XI, Selasa (22/7/2025).

Sri Mulyani pun memberikan penjelasan terkait hal tersebut. Menurut dia, perhitungan 20 persen tidak bisa dilihat secara kaku karena komponen pembagi (denominator) belanja negara terus bergerak.

Ia juga menjelaskan adanya alokasi anggaran pendidikan dalam bentuk cadangan yang masuk dalam skema pembiayaan, bukan belanja langsung.

>

"Kalau bicara tentang by design Pak Dolfie, kami mendesainnya waktu RUU APBN itu 20 persen. By default jadinya tergantung dari beberapa komponen karena pembaginya itu bergerak," ujar Sri Mulyani.

Namun, jawaban tersebut belum memuaskan Dolfie. Ia mengklaim cadangan dana pendidikan yang ditempatkan di pos pembiayaan cenderung tidak terealisasi dan justru berkontribusi pada peningkatan utang negara.

"Kalau Rp80 triliun itu digunakan untuk memperkuat pendidikan kita, itu kan sangat dahsyat. Tapi kalau masih tidak terpenuhi lagi 20 persen, berarti kan ada sesuatu," tukas Dolfie.

Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani menjelaskan alasan di balik penempatan sebagian anggaran pendidikan di pos pembiayaan untuk menjaga efisiensi dan kualitas belanja.

"Waktu itu kalau sudah mendekati September 2024, kita belum mencapai 20 persen, maka diberikanlah kementerian, lembaga, itu belanja tambahan di Oktober. Rp80 triliun mau dibelanjakan habis jadi apa? That's problem juga," kata Sri Mulyani.

Menurut bendahara negara itu, semangat kebijakan ini untuk menjaga kualitas belanja agar tidak sekadar menghabiskan anggaran di akhir tahun untuk hal-hal yang tidak mendesak.

Ia mencontohkan potensi dampak negatif jika alokasi anggaran pendidikan dipaksakan dihabiskan demi memenuhi target 20 persen, seperti fenomena di masa lalu di mana sekolah-sekolah membelanjakan dana untuk hal yang tidak mendesak, seperti mengganti pagar yang masih layak.

"Supaya jangan sampai, oh karena harus 20 persen, harus habis, nanti sekolah yang pagarnya enggak rusak, diganti pagarnya. Saya dengar waktu itu," ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan praktik semacam itu bertentangan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan kepatutan dalam pengelolaan anggaran. Membelanjakan puluhan triliun rupiah dalam waktu singkat di akhir tahun anggaran, menurutnya, bukanlah cara yang sehat dan bertanggung jawab.

Kementerian Keuangan, lanjut Sri Mulyani, terus berupaya menyeimbangkan kewajiban konstitusional untuk memenuhi 20 persen anggaran pendidikan dengan menjaga kualitas dan tata kelola belanja. Ia menyatakan bahwa mekanisme penganggaran juga harus dikaji secara matang agar tidak hanya memenuhi angka, tetapi juga membawa manfaat nyata.

"Memang ini mekanisme, kami juga berpikir terus bagaimana satu sisi mengikuti undang-undang dasar, di sisi lain Pak Dolfie minta kualitas belanjanya harus bagus, tata kelola bagus, dan segala macam, efisien," terang Sri Mulyani.

Komunikasi dan koordinasi dengan kementerian atau lembaga lain akan terus ditingkatkan untuk mencapai keseimbangan ini.

Meski debat berlangsung sengit, rapat kerja akhirnya ditutup dengan pembacaan kesimpulan oleh Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun. Komisi XI tetap meminta Kementerian Keuangan untuk memperkuat kebijakan pengelolaan belanja negara, khususnya dalam merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sesuai mandat konstitusi.

"Kementerian Keuangan memperkuat kebijakan dalam pengelolaan belanja, pengelolaan belanja negara untuk meningkatkan kualitas belanja Kementerian atau lembaga KL yang ditunjukkan antara lain. Secara khusus, anggaran pendidikan 20 persen APBN sesuai mandat konstitusi, indikator prestasi KL dalam menjalankan belanja KL,” tutur Misbakhun.

(Febrina Ratna Iskana)

SHARE