Greenflation Bikin Proyek Energi Bersih RI Tersendat, Bagaimana Nasib Bursa Karbon?
Indonesia dikabarkan akan menurunkan target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
IDXChannel - Indonesia dikabarkan akan menurunkan target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Melansir Nikkei Asia (25/3/2024), Dewan Energi Nasional (DEN) Indonesia di awal 2024 mengungkapkan rencana untuk memangkas target porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer RI.
Target EBT akan dipangkas menjadi 17 persen-19 persen pada 2025 dan 19 persen-21 persen pada 2030. Padahal, target awal bauran EBT mencapai 23 persen mulai tahun depan.
Saat ini, energi terbarukan hanya menyumbang 13 persen dari sumber energi Indonesia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Langkah Indonesia ini menjadi tantangan dekarbonisasi di Asia Tenggara, di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap inflasi dan pembiayaan di seluruh kawasan, mulai dari Malaysia hingga Vietnam.
Sebelumnya, DEN menetapkan target ambisius 70 persen energi terbarukan hingga 2060.
Pengungkapan dewan tersebut muncul tidak lama setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Indonesia mengatakan penerapan pajak karbon akan semakin ditunda hingga 2026. Pajak tersebut awalnya ditetapkan mulai berlaku pada 2022.
“Kebijakan ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan meningkatnya minat untuk melestarikan bahan bakar fosil,” kata Institute for Essential Services Reform (IESR).
Kondisi ini mendorong meningkatnya kekhawatiran atas kenaikan biaya untuk melakukan upaya ramah lingkungan alias ancaman Greenflation.
“Transisi menuju energi ramah lingkungan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Kita tidak boleh membebani masyarakat, masyarakat miskin dengan penelitian dan pengembangan yang mahal serta [biaya] transisi energi,” kata Wakil Presiden Ri terpilih Gibran Rakabuming, dalam debat sesi pemilu pada Januari lalu.
Komentar tersebut menimbulkan kekhawatiran atas greenflation yang muncul ketika penggunaan bahan bakar fosil dikurangi bahkan dihentikan dan menggunakan sumber enerhi rendah karbon meskipun harganya mahal.
Memahami Greenflation
Melansir BNP Paribas, inflasi hijau alias greenflation paling sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.
Greenflation mengacu pada kondisi pembengkakan biaya dan harga karena model bisnis yang mengadaptasi metode produksi dengan teknologi rendah karbon, yang mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca, di satu sisi memerlukan investasi besar dan mahal.
Sistem produksi ini akan meningkatkan biaya marjinal setiap unit yang diproduksi dalam jangka pendek dan meningkatkan penggunaan energi.
Menurut riset BNP Paribas, pontoh pendorong greenflation di Uni Eropa misalnya, adalah fenomena penerapan pajak karbon.
Banyak negara Eropa (Prancis, Denmark, Jerman, dll.) telah menerapkan pajak karbon. Harga per ton CO2 hari ini sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan ketika Perjanjian Paris ditandatangani pada bulan Desember 2015.
Oxford Economics dalam laporannya pada bulan Februari mengatakan negara-negara besar di Asia Tenggara akan menderita akibat kenaikan biaya energi pada fase awal dekarbonisasi.
Ini karena pajak karbon yang dikenakan pada bahan bakar fosil, ditambah dengan harga logam dan mineral yang lebih tinggi karena meningkatnya permintaan untuk produksi kendaraan listrik dan investasi hijau lainnya akan membebani biaya produksi.
“Pemodelan kami menunjukkan bahwa peralihan ke net zero pada awalnya akan membawa dampak buruk terhadap ekonomi melalui kenaikan biaya energi, namun pada akhirnya manfaatnya akan bertambah dari dampak positif investasi,” kata laporan tersebut,
Oxford Economics menambahkan negara-negara eksportir energi neto, seperti Indonesia dan Malaysia, kemungkinan akan menghadapi dampak negatif dari investasi yang menuntut biaya besar di muka.
Nasib Bursa Karbon
Indonesia sendiri baru saja mengesahkan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon). Peluncuran tersebut dilakukan di Main Hall PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (26/9).
Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023 lalu.
Sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon, IDXCarbon sebagai Penyelenggara Bursa Karbon menyediakan sistem perdagangan yang transparan, teratur, wajar, dan efisien.
Terdapat 4 mekanisme perdagangan IDXCarbon, yaitu Auction, Regular Trading, Negotiated Trading, dan Marketplace.
Penyedia Unit Karbon pada perdagangan perdana kali ini yaitu Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) yang menyediakan Unit Karbon dari Proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk.
Perusahaan-perusahaan besar telah berperan sebagai pembeli Unit Karbon pada perdagangan di IDXCarbon.
Di antaranya seperti PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT BNI Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas (bagian dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk), PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, PT Pamapersada Nusantara, PT Pelita Air Service, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Patra Niaga, PT Truclimate Dekarbonisasi Indonesia, dan PT Udara Untuk Semua (Fairatmos).
Menurut data OJK hingga 18 Maret 2024 terdapat 52 pengguna jasa sejak bursa karbon diluncurkan pada 26 September 2023
Hingga 18 maret 2024, Inarno mencatat total akumulasi volume transakai mencapai 501.956 ton Co2 ekuivalen dengan nilai Rp 31,36 miliar.
Bursa karbon dan perdagangan karbon merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya adalah mekanisme pasar yang tercipta untuk merespon kebutuhan perubahan iklim dan tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditimbulkan oleh sektor swasta.
Mengutip World Economic Forum, mekanisme perdagangan karbon dapat mendorong sektor swasta dalam melakukan dekarbonisasi dengan tujuan mengurangi emisi menuju Net Zero 2060.
Net zero emissions atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.
Untuk mendukung upaya tersebut, perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon perusahaan pada bursa karbon.
Beberapa negara telah menjalankan mekanisme bursa karbon. Sebagai contoh Intercontinental Exchange (ICE) yang merupakan penyelenggara bursa karbon di Amerika Serikat (AS).
Perdagangan karbon juga menunjukan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir, Coherent Market Insights memprediksi bahwa pasar karbon global akan senilai USD2.407,8 miliar pada 2027.
Namun, di tengah ancaman greenflation dan mundurnya semangat dekarbonisasi dari pemerintah, ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi bursa karbon di masa depan. (ADF)