Harga PCR Jadi Rp275 Ribu, HIPMI Minta Kualitas Tak Boleh Turun
HIPMI meminta agar ada SOP yang baku dari pemerintah agar teknis di lapangan berjalan baik dan bisa dimonitor sesuai.
IDXChannel - Pro dan kontra harga tes PCR yang dinilai masih relatif mahal oleh masyarakat, kini menemukan titik terang.
Sebab saat ini, biaya tes PCR di Jawa-Bali menjadi Rp 275 ribu, sedangkan di luar daerah tersebut menjadi Rp 300 ribu.
Kendati demikian, dari segi kualitas alat tes PCR, pemerintah belum mengambil kebijakan yang rata terhadap Klinik Kesehatan maupun Rumah Sakit yang melayani tes kesehatan tersebut. Pasalnya, belakangan ini pemerintah lebih menaruh fokus pada harga tes PCR saja.
Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi, dan Kesehatan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Sari Pramono menuturkan, ketika ingin menurunkan tarif tes PCR, perlu mengajak pengusaha untuk berdialog.
Baginya, dalam penetapan harga, suara pengusaha juga perlu jadi pertimbangan.
"Perlu ada balancing, harus dengar dari sisi pengusaha. Pengujian tes PCR di laboratorium menggunakan banyak komponen seperti reagen, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang harganya mahal dan harus impor. Belum lagi setiap pengoperasian laboratorium membutuhkan adanya tenaga ahli medis yang mumpuni. Jangan sampai harga turun tapi teknis operasional jadi sembarangan demi mengejar harga yang ditetapkan pemerintah," ujar Sari, Rabu (3/11/2021).
Dia pun meminta agar ada SOP yang baku dari pemerintah agar teknis di lapangan berjalan baik dan bisa dimonitor sesuai.
Selain itu, penanganan limbah agar virus jangan sampai tersebar secara tidak sengaja juga menjadi beban biaya yang tidak sedikit. Komponen-komponen inilah yang dinilai sangat mempengaruhi tarif PCR di masyarakat.
"Perlu diperhatikan mengenai harga tersebut apakah laboratorium-laboratorium di dalam prosesnya menjalankan sesuai dengan ketetapan pemerintah, seperti penetapan standarisasi dan proses monitoring evaluasi terhadap sebuah laboratorium PCR. Selain manpower tenaga kesehatan dan kualifikasi, standar gaji, struktur organisasi dalam operasional laboratorium seperti apa, jenis mesinnya, platform, infrastruktur laboratorium dan spesifikasi ruangan/biosafety level (BSL), material/bahan habis pakai seperti reagen dan alat pelindung diri (APD), penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta kalibrasi dan maintenance alat," urainya.
"Apalagi reagen, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai banyak yang harus diimpor dari luar negeri. Komponen-komponen ini mesti menjadi pertimbangan kita dalam menentukan tarif harga PCR. Pengusaha sudah menyiapkan stok reagen berkualitas yang banyak, tidak mungkin karena harga turun kita ganti dengan kualitas yang kurang baik?," sambungnya.
Ia mengambil contoh bagaimana laboratorium di Jakarta bisa banyak tapi di daerah-daerah belum memiliki laboratorium yang mumpuni dan harus menunggu waktu lama untuk hasilnya.
"Laboratorium PCR mungkin di Jakarta cukup mudah dan banyak pilihan, namun di beberapa daerah masih sulit sekali menemukan laboratorium PCR dengan hasil cepat bahkan harus mengantri berhari-hari. Apakah pengusaha laboratorium tidak berminat untuk investasi di daerah karena kurang menarik atau karena terlalu besar investasinya dengan resiko besar dan harga minim sehingga sulit beroperasi, hal ini harus menjadi pertimbangan agar laboratorium PCR menjadi accessible di seluruh penjuru Indonesia supaya tracing tetap terjaga dan memudahkan untuk bepergian ataupun kebutuhan PCR untuk lanjutan pemeriksaan kesehatan," sebut dia.
(SANDY)