ECONOMICS

Heboh Pajak Penghasilan, Bagaimana Aturan Perpajakan di RI?

Maulina Ulfa - Riset 04/01/2023 12:03 WIB

Gaji Rp5 juta akan dikenai tarif Rp25 ribu sebulan dan Rp300 ribu dalam setahun.

Heboh Pajak Penghasilan, Bagaimana Aturan Perpajakan di RI? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Dunia maya riuh oleh aturan terbaru wajib pajak yang disosialisasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Pemberitaan kemudian bergulir menjadi ‘bola panas’ seiring adanya rumor yang mengatakan bahwa gaji Rp5 juta sebulan dikenai pajak 5%.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membantah klaim tersebut dan menjelaskan bahwa tarif 5% merupakan akumulasi pajak dalam setahun alias 0,5% per bulan.

Otomatis, dengan gaji Rp5 juta maka wajib pajak akan dikenai tarif Rp25 ribu sebulan dan Rp300 ribu dalam setahun.

"Kalau Anda jomblo tidak punya tanggungan siapapun, gaji Rp5 juta, pajak dibayar adalah sebesar Rp300 ribu per tahun atau Rp25 ribu per bulan. Artinya pajaknya 0,5% bukan 5%," tulis Sri Mulyani dalam akun instagram resminya @smindrawati.

Seperti diketahui, lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah mengubah lapisan penghasilan kena pajak (PKP) per tahun, dari sebelumnya empat lapisan, kini menjadi lima lapisan.

Aturan Wajib Pajak RI

Penyumbang terbesar penerimaan negara adalah subjek pajak atau yang bisa disebut wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi. 

Adapun Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008. Kriteria Wajib Pajak subjek Dalam Negeri adalah sebagai berikut:

Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai subjek pajak luar negeri menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008. Kriteria disebut Wajib Pajak subjek Luar Negeri adalah sebagai berikut ini:

Sementara itu, sebagai penyempurna UU PPh dan baru disahkan, ada beberapa poin penting mengenai pajak penghasilan dalam UU HPP yang perlu diperhatikan.

Pertama, tarif PPh orang pribadi yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 17 ayat (1) dan ayat (3) mengalami perubahan di UU HPP.

Tarif pajak penghasilan orang pribadi mengalami sedikit penyesuaian yang tidak merubah fundamental perhitungan pajak bagi masyarakat yang berpenghasilan Rp60 juta per tahun. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sebagai subjek, kewajiban pajak individu dibedakan menjadi penghasilan kena pajak (PKP) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Mengutip laman Ditjen Pajak RI, besarnya PTKP ditentukan berdasarkan status wajib pajak pada awal tahun pajak yang bersangkutan. Status wajib pajak terdiri dari:

  1. Tidak Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga
  2. Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga
  3. Kawin, tambahan untuk istri (hanya seorang) yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga

Tanggungan anggota keluarga adalah anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Penghitungan pajak penghasilan orang pribadi diterapkan atas penghasilan yang jumlahnya melebihi batas PTKP.

Besaran PTKP ini masih sama dalam UU HPP, yaitu Rp54 juta untuk orang pribadi belum menikah, tambahan Rp4,5 juta untuk wajib pajak kawin, dan tambahan Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal 3 orang. 

Kedua, yaitu penambahan objek PPh final pasal 4 ayat (2). Pada UU PPh, belum ada pasal yang mengatur perlakuan PPh atas penghasilan berupa bunga surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang secara tegas.

Oleh karena itu, terdapat perubahan pada pasal 4 ayat (2) huruf a dalam UU HPP yang mengatur pajak atas penghasilan tersebut.

Ketiga, adalah penyesuaian ketentuan penyusutan dan amortisasi. Amortisasi mengacu pada pengurangan membayar biaya pokok dan bunganya.

Sederhananya, aset tidak berwujud bisa diturunkan nilainya dalam jangka waktu tertentu, istilah ini disebut amortisasi.

Dalam UU HPP, mengatur memberikan pilihan bagi wajib pajak dapat membebankan biaya penyusutan bangunan permanen dan amortisasi harta tak berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan wajib pajak.

Pasal terdampak atas perubahan ini adalah penambahan pada pasal 11 ayat (6a) dan pasal 11A ayat (2a), perubahan pasal 11 ayat (7) dan pasal 11A ayat (1a). Serta, penghapusan pasal 11 ayat (11).

Sementara Kinerja penerimaan pajak RI masih tumbuh positif hingga akhir tahun 2022. Angka penerimaan menunjukkan konsistensi sejak April 2021 sejalan dengan pemulihan ekonomi RI pasca pandemi Covid-19. 

Kinerja penerimaan pajak RI hingga 14 Desember 2022 tercatat mencapai Rp1.634,4 triliun, atau 110,1% dari pagu anggaran dan tumbuh 41,9% year on year (yoy).

Menurut Kemenkeu, kinerja penerimaan pajak yang baik tersebut masih dipengaruhi oleh tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, serta implementasi UU HPP seperti penyesuaian tarif PPN, PPN PMSE, serta Pajak Fintech dan Kripto. (ADF)

SHARE