Indonesia Bisa Jadi Eksportir Abadi Energi Terbarukan, Segini Potensinya
Indonesia berpeluang menjadi eksportir abadi energi baru terbarukan (EBT) lantaran memiliki sumber daya yang melimpah.
IDXChannel - Indonesia berpeluang menjadi eksportir abadi energi baru terbarukan (EBT) lantaran memiliki sumber daya yang melimpah mulai dari air, angin, matahari hingga panas bumi.
"Indonesia sangat optimis karena jumlah neracanya melebihi konsumsi nya. Kita punya potensi air, angin, matahari dan panas bumi yang melimpah. Jadi suatu hari kita menjadi pengekspor abadi energi terbarukan," kata Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) Ridwan Kamil dalam pertemuan ADPMET di Medan, Kamis (2/2/2023).
Untuk menuju kesana, kata Emil, perlu upaya untuk mengoptimalkan sumber-sumber EBT tersebut. Caranya dengan penghitungan potensi yang ada terlebih dahulu.
"Kita mulai dengan menghitung potensi neraca ada berapa kekuatan angin, panas matahari, panas bumi dan air di daerah masing-masing. Kemudian dikonversi secara teori menjadi potensi sumber listrik," urai Gubernur Jawa Barat itu.
"2050 kan sudah digunakan atau 2060. Di mana semuanya harus jadi, masih ada waktu sekitar 30 tahun," imbuhnya.
Saat ditanya apa target di 2023, Kang Emil mengatakan pihaknya akan memperbanyak keadilan sosial. Karena, dari amatan mereka, banyak daerah yang belum mendapatkan hak 10 persen dari keuntungan.
"Banyak daerah yang harusnya dapat hak 10 persen dari keuntungan minyak dan gas bumi. Tapi belum semua mendapatkan. Baru Jawa Barat, Kalimantan Timur, Lampung. Lagi dibereskan, tugas saya memastikan semua daerah mendapat hak 10 persen," tegasnya.
Selain itu, soal hilirisasi komoditas dan industri juga menjadi fokus mereka. Seperti apa yang diinstruksikan Presiden Joko Widodo untuk menjaga ekonomi di rata-rata 5 persen.
"Jadi nikelnya jangan di ekspor, batubaranya. Tapi semua dalam bentuk nilai tambah sudah jadi baterai listrik baru dijual, sudah jadi barang. Jadi hilirisasi industri ini salah satu strategi dalam 10 tahun yang akan melompat kan nilai volume penjualan," terangnya.
"Sehingga, ketimbang membeli barang mentah, itu investor dipaksa membuka smelter atau pabrik-pabrik yang mengikat komoditas menjadi barang industri," pungkas Kang Emil.
(DES)