Industri Nikel Indonesia Dapat 'Jackpot' dari Perang Rusia-Ukraina
produksi bijih nikel dalam negeri saat ini dalam kondisi kelebihan pasokan alias melimpah ruah.
IDXChannel - Industri nikel nasional diyakini telah membaik, meski memang masih ditemukan sejumlah pergolakan mengenai pencabutan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di kalangan pelaku usaha.
Namun begitu, sebagai output dari proses olahan, komoditas nikel juga tak luput dari dampak terjadinya perang Rusia-Ukraina. Kondisi perang di Eropa Timur tersebut disebut berpengaruh signifikan terhadap hilirisasi industri nikel Tanah Air.
“ini (perang) membawa dampak ke negara-negara lain, di mana mereka mendapatkan produk dari Rusia yang tentu saat ini dari pihak Rusia menyetop produk mineralnya. Akhirnya yang mendapat 'jackpot' sedikit dari kondisi ini, diantaranya Indonesia, Filipina dan lain-lain,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dalam program Market Review IDX Channel, Senin (18/4/2022).
Menurut Meidy, produksi bijih nikel dalam negeri saat ini dalam kondisi kelebihan pasokan alias melimpah ruah. Namun di lain pihak, pemerintah diketahui tengah mengeluarkan sejumlah penertiban atau atau Izin Badan Usaha terhadap IUP Biji Nikel.
“Indonesia mendapat durian runtuh sedikit kita bilang Tapi kembali lagi olahan ini harus betul-betul punya manfaat untuk Indonesia yang pastinya ya produk olahan, yang masih yang masih didominasi oleh nikotic iron dan veronical,” ungkapnya.
Masalahnya, Meidy menjelaskan, ada beberapa badan usaha yang dicabut izin atau SK-nya. Hal ini tentu merugikan lantaran smelter dapat dipastikan bakal kekurangan bahan baku. "Kita lihat saja seberapa besar pendapatan negara, khususnya dari produk olahan yang diolah oleh 27 badan usaha ini. Ingat nanti akan berdiri sekitar 81 badan usaha lagi. Ini masih akan bertambah," tutur Meidy.
Menurutnya, kedepan Kementerian ESDM di mana mungkin akan menyetop pembangunan-pembangunan industri hilirisasi khusus Nikel. “Karena kami takut cadangan bijih nikel ini nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik ini karena kenapa ? menurut penghitungan Kamil tahun 2025 nanti jika pabrik-pabrik ini sudah berdiri yang tentu akan makan biji nikel kalau kurang lebih 250 juta ton per tahun," tandasnya. (TSA)