ECONOMICS

Industri Tekstil di Chili sampai Uganda Hancur Usai Dibanjiri Pakaian Bekas Impor

Ajeng Wirachmi/Litbang 29/03/2023 16:10 WIB

Pemerintah saat ini tengah gencar menekan perdagangan pakaian bekas impor.

Industri Tekstil di Chili sampai Uganda Hancur Usai Dibanjiri Pakaian Bekas Impor. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pemerintah saat ini tengah gencar menekan perdagangan pakaian bekas impor. Langkah tersebut dilakukan usai adanya arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai bahaya dibalik bisnis limbah penjualan pakaian bekas impor. Berkembangnya pasar thrift di Indonesia mengancam pertumbuhan industri tekstil di dalam negeri.

Berbeda dengan Indonesia yang saat ini mulai berbenah, beberapa negara ini industri tekstilnya sudah hancur duluan karena perdagangan pakaian bekas impor. Seperti Chili sampai Uganda. 


Chili

Negara yang industri tekstilnya hancur karena perdagangan pakaian bekas impor adalah Chili. Melansir laman Daily Mail, setidaknya ada 39 ribu ton pakaian bekas yang dibuang di Gurun Atacama. Pakaian tersebut diketahui diimpor dari negara lain (salah satunya Inggris) dan membuat gelombang kecanduan fast fashion.

Chili merupakan negara importir pakaian bekas di Amerika Latin. Pakaian yang masuk akan dibeli oleh para pedagang tekstil, sementara sisanya dibiarkan menggunung. 

Hal ini membuat industri tekstil Chili hancur. Di sekitar gurun, terdapat imigran asal Venezuela yang menetap. Mereka mengambil pakaian bekas tersebut untuk dipakai atau dijual kembali.

Bahkan, bukan hanya pakaian bekas yang berada di sini. Pakaian baru yang masih dilengkapi label harga juga sering ditemukan di Atacama. Selain meruntuhkan industri tekstil dalam negeri, datangnya pakaian bekas impor juga meningkatkan pencemaran lingkungan di Chili.

Kenya

Selanjutnya, ada Kenya yang dibanjiri pakaian bekas impor sebesar USD172 juta pada tahun 2021. Angka tersebut melonjak 500% dari tahun 2005 yang hanya USD27 juta. Melansir data yang ada di laman Sheng Lu, pakaian bekas yang dikirim ke Kenya sebagian besar adalah pakaian sintetis yang dapat menghasilkan zat berbahaya atau racun. 

Sudah pasti, tumpukan pakaian tersebut bisa menghancurkan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat.

Diperkirakan, kuantitas pakaian bekas yang dikirim ke Kenya mencapai angka 300 juta item per tahunnya. Selain ditimbun, pakaian bekas itu juga berakhir dengan dibakar, menyebabkan polusi semakin parah. 

Sementara itu, pedagang Kenya mengaku 20-50% pakaian bekas tidak bisa dijual kembali karena sudah dalam kondisi rusak. Negara-negara yang paling banyak mengirim pakaian bekas ke Kenya adalah China, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara di Eropa lainnya.

Tsunami pakaian bekas impor yang melanda Kenya tentunya disayangkan banyak pihak. Sebab, kondisi pekerja di Kenya sangat memprihatinkan, dengan jumlah pengangguran fantastis. Dengan adanya hal ini, 500 ribu pekerja tekstil Kenya harus dipangkas menjadi hanya 20 ribu. Jumlah tersebut bahkan dilaporkan terus mengalami penurunan. 

Hal ini mengindikasikan bahwa industri tekstil di negara tersebut sudah mulai runtuh. Pada tahun 2019, pemerintah Kenya sudah melakukan pelarangan impor pakaian bekas agar produksi pakaian dalam negeri kembali bangkit.

Ghana

Melansir International Journal of Law Management & Humanities (2022) dengan judul Impact of Second-Hand Clothing Waste in Ghana, disebutkan bahwa ada sekitar 15 juta pakaian bekas yang tiba di Ghana setiap minggunya. 

Salah satu pasar di sana, Kantamanto, dikenal sebagai rumah pakaian bekas yang digemari oleh sebagian besar masyarakat Ghana.

Derasnya pakaian bekas yang menerjang Ghana merusak ekosistem dan industri tekstil di negara tersebut. Tidak semua pakaian bekas terpakai di Ghana. Pakaian yang tidak bisa digunakan dibuang ke tempat pembuangan sampah atau ke saluran air. Sebagai dampaknya, bisa mencemari seluruh ekosistem Ghana.

Pakaian yang dikirim ke Ghana sebagian besar berasal dari negara Barat yang notabene memiliki industri tekstil mumpuni. 

Alih-alih diberikan sebagai sumbangan, pakaian yang terlalu menumpuk itu justru merusak lingkungan Ghana dan tergolong cukup membahayakan. Selain itu, kiriman pakaian bekas impor tersebut juga mulai menggerogoti industri tekstil dalam negerinya.

Uganda

Uganda juga merupakan negara yang industri lokalnya hampir hancur karena pakaian impor bekas. Namun, pada tahun 2003 pemerintah Uganda dengan tegas melarang pakaian bekas impor untuk masuk ke dalam negeri. Tujuannya adalah untuk menciptakan permintaan domestik.

Namun, kebijakan itu masih menemui kendala dan berjalan tertatih-tatih selama 4 tahun setelahnya. Padahal, Uganda adalah importir utama tekstil dari Eropa, Asia, dan AS. Namun, pemerintah terus berusaha agar pengusaha tekstil dalam negeri bisa mencukupi kebutuhan pakaian domestik.

(SLF)

SHARE