ECONOMICS

Inflasi AS Masih Tinggi, ‘Guncangan 70-an’ Kembali dengan Wajah Baru?

Maulina Ulfa - Riset 14/10/2022 16:39 WIB

Biaya perumahan di AS naik paling tinggi sejak awal 1980-an. Tingginya biaya perumahan ini yang dapat membuat inflasi inti tetap tinggi selama berbulan-bulan.

Inflasi AS Masih Tinggi, ‘Guncangan 70-an’ Kembali dengan Wajah Baru? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Inflasi negeri Paman Sam periode September 2022 telah diumumkan semalam (Kamis, 13/10/2022). Inflasi AS mengalami kenaikan sebesar 8,2% secara year on year (yoy).

Angka ini lebih rendah dibanding periode Agustus 2022 sebesar 8,3% yoy, dan Juli 2022 yang mencapai 8,5% yoy.

Namun, inflasi inti naik sebesar 6,6% yoy dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1982. Sedangkan inflasi inti bulanan (MoM) naik 0,6%. (Lihat grafik di bawah ini.)

Inflasi inti diukur dengan menghitung indeks pengeluaran konsumsi pribadi inti atau core personal consumption expenditures (PCE). PCE mewakili harga barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen di AS.

PCE merupakan indikator penting dalam menentukan inflasi. Perhitungan PCE inti dan inflasi umum keduanya membantu menentukan seberapa besar inflasi dalam sebuah perekonomian.

Meskipun inflasi inti mengukur perubahan harga barang dan jasa, namun tidak termasuk makanan dan energi. Inflasi inti juga diukur untuk mengetahui perubahan tren pembelian konsumen.

Dalam hal inflasi inti, mengutip Trading Economics, indeks untuk pengukuran tempat tinggal, perawatan medis, asuransi kendaraan bermotor, kendaraan baru, perabot dan operasi rumah tangga, dan pendidikan termasuk di antara yang meningkat selama bulan September lalu di AS.

Biaya perumahan naik paling tinggi sejak awal 1980-an. Hal ini disebabkan karena pasar tenaga kerja yang kuat terus mendorong peningkatan harga sewa properti.

Tingginya biaya perumahan inilah yang dapat membuat inflasi inti tetap tinggi selama berbulan-bulan.

Sementara harga jasa juga cenderung naik mencapai 9,9%. Kondisi ini juga menjadi tingkat paling tajam sejak 1982.

Sebagai contoh, harga jasa untuk layanan perbaikan kendaraan bermotor naik 2,2% pada September dari bulan sebelumnya. Layanan dokter hewan dan penitipan anak dan prasekolah juga meningkat 2% bulan lalu.

The Fed Diproyeksi Masih Akan Agresif

Inflasi inti yang tinggi ini masih dikhawatirkan akan menekan The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga lebih agresif lagi. Hal ini dilakukan untuk mendorong penurunan harga kembali ke level terendahnya.

The Fed secara agresif menaikkan suku bunga untuk memperlambat kenaikan harga ini. Jika suku bunga naik, harga menjadi tinggi, maka diharapkan akan mengerem konsumen untuk terus membelanjakan uang mereka dan kemudian akan memperlambat kenaikan harga-harga.

Menurut ekspektasi The Fed, berdasarkan basis perubahan 12 bulan, total inflasi harga PCE sebenarnya diperkirakan berada di level 5,1% pada 2022, dan inflasi inti diperkirakan 4,3%.

Pejabat The Fed dalam pertemuan kebijakan bulan September bahkan menyatakan keprihatinan tentang persistensi inflasi yang tinggi.

Bulan lalu, federal funds rate (FFR) naik sebesar 0,75 poin persentase yang menjadi peningkatan kelima sejak Maret, ke kisaran antara 3% dan 3,25%. Laju kenaikan suku bunga ini menjadi paling cepat sejak awal 1980-an.

Ketua Fed Jerome Powell mengatakan pada akhir September bahwa bank sentral akan terus menaikkan suku bunga dan mempertahankannya tetap tinggi sampai dipastikan bahwa inflasi telah dijinakkan.

Hampir semua pejabat Fed berharap kenaikan suku bunga acuan mencapai antara 4% dan 4,5% pada akhir tahun ini.

Inflasi 1970-an Kembali dengan Wajah Baru?

Inflasi inti yang tinggi di tahun 1970-an juga pernah mengantarkan AS pada jurang resesi mendalam. Di era tersebut, pasar saham kehilangan hampir 50% dari nilainya dalam periode 20 bulan.

Pertumbuhan ekonomi yang lemah mengakibatkan meningkatnya pengangguran yang pada akhirnya mencapai dua digit.

Di bawah kepemimpinan yang berbeda, The Fed kemudian akan membalikkan kebijakannya dengan menaikkan suku bunga menjadi sekitar 20%, salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah.

Untuk industri yang peka terhadap kenaikan ini, seperti perumahan dan otomotif, kondisi ini adalah bencana di mana orang akan banyak yang kehilangan rumah dan mobil baru.

Inflasi yang cepat terjadi ketika harga barang dan jasa tiba-tiba naik, berdampak pada terkikisnya daya beli hingga simpanan masyarakat.

Kombinasi antara kebijakan suku bunga The Fed, penghentian standar emas (the gold standard), kebijakan ekonomi Keynesian, dan psikologi pasar saling berkelindan berkontribusi pada peningkatan signifikan inflasi.

Inflasi diperkirakan akan kembali melandai hanya setelah periode tighting money atau kebalikan dari easing money dan keputusan The Fed untuk menyatakan resesi.

Di bawah kepemimpinan Richard Nixon, konservatisme fiskal seharusnya dijalankan. Kebijakan ini dikenal debagai Nixonomics yang menjalankan defisit anggaran, mendukung kebijakan pendapatan, dan akhirnya mengumumkan bahwa dia adalah seorang Keynesian.

Inflasi yang berlanjut hingga awal 1980-an ini diukur dengan indeks harga konsumen yang naik hingga 14% pada tahun 1980.

Persamaan dengan Era 70-an

Para ekonom World Bank, Jongrim Ha, Ayhan Kose, dan Franziska Ohnsorge dalam analisisnya (1 Juli 2022) mengatakan, setidaknya ada kesamaan inflasi hari ini dengan inflasi 1970-an terasa di beberapa aspek.

Pertama, gangguan pasokan yang didorong oleh pandemi dan guncangan harga energi akibat perang Russia-Ukraina mirip dengan guncangan minyak pada tahun 1973 dan 1979an.

Kedua, inflasi tinggi dan pertumbuhan lemah. Inflasi global selama tahun 1973-1983 rata-rata 11,3% per tahun, tiga kali lebih tinggi dari rata-rata 3,6% per tahun selama 1962-72.

Ketiga, kerentanan signifikan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang. Pada 1970-an hingga awal 1980-an, kondisinya mirip dengan saat ini di mana tingkat utang cukup tinggi, inflasi yang tinggi, dan posisi fiskal yang lemah membuat negara berkembang rentan terhadap pengetatan kondisi keuangan.

Perbedaan dengan 70-an

Namun, ada perbedaan penting antara situasi saat ini dan tahun 1970-an.

Pertama, setidaknya sejauh ini, besarnya lonjakan harga komoditas lebih kecil dibanding tahun 1970-an.

Setelah guncangan minyak besar-besaran, harga minyak naik empat kali lipat pada 1973-1974 dan dua kali lipat pada 1979-1980.

Kombinasi inflasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang lemah, yang dipicu oleh kejutan pasokan yang berulang, memunculkan fenomena 'stagflasi'. Kenaikan harga minyak di tahun 1970an-1980an mencapai 3 kali lipat.

Namun, meroketnya harga minyak akibat ketegangan antara OPEC dan AS masih perlu diwaspadai saat ini.

Kedua, telah terjadi pergeseran paradigma dalam kerangka kebijakan moneter sejak tahun 1970-an.

Pada tahun 1970-an, alih-alih fokus utama pada inflasi, mandat bank sentral juga memasukkan beberapa tujuan secara bersamaan seperti lapangan kerja, hingga untuk stabilitas harga.

Kebijakan easing money atau kebijakan untuk menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat dari bank sentral AS dikeluarkan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja pada awal 1970-an. Sayangnya, langkah ini justru juga mengakibatkan inflasi yang tinggi.

Kebijakan The Fed yang mendorong peningkatan besar dalam jumlah uang beredar ini dianggap sebagai alasan utama inflasi hebat ini di periode tersebut.

Menanggapi inflasi saat ini, Bill Adams, chief economist di Comerica Bank mengatakan inflasi telah menciptakan banyak momentum selama setahun terakhir.

"Kondisi saat ini akan menjaga inflasi lebih tinggi daripada yang diinginkan Federal Reserve setidaknya untuk beberapa bulan lagi, bahkan beberapa kuartal lagi,"katanya mengutip Wall Street Journal (14/10)

Adams mengatakan angka-angka itu juga mencerminkan efek riak dari guncangan harga selama tahun lalu yang meluas di seluruh perekonomian.

Saat ini, publik masih menunggu apakah kejadian 1970 akan terulang kembali di era modern ini. Sementara resesi masih hanya sebatas ramalan, penting bagi para pemangku kebijakan, terutama bank sentral dan menteri keuangan tetap membuka mata untuk segala kemungkinan. (ADF)

SHARE