ECONOMICS

Inflasi Pangan Bisa Salip Gaji UMR, Warga Indonesia Susah Kaya?

Maulina Ulfa 06/03/2024 16:04 WIB

Laju inflasi pangan bergejolak atau volatile food dalam kurun waktu 4 tahun terakhir telah melampaui rata-rata kenaikan upah minimum regional (UMR).

Inflasi Pangan Bisa Salip Gaji UMR, Warga Indonesia Susah Kaya? (Foto: Freepik)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) melaporkan laju inflasi pangan bergejolak atau volatile food dalam kurun waktu 4 tahun terakhir telah melampaui rata-rata kenaikan upah minimum regional (UMR).

Hal ini disampaikan Kepala Departemen Regional BI Arief Hartawan dalam Rapat Koordinasi Pengamanan Pasokan & Harga Pangan Jelang Puasa dan Idul Fitri, di Jakarta, Senin (4/3/2024).

Arief mengatakan, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, inflasi pangan bergejolak mencapai 5,6 persen.

Angka tersebut lebih tinggi dibanding rata-rata kenaikan UMR yang hanya mencapai 4,9 persen pada periode 2020-2024. Menurut Arief, laju inflasi pangan pun hampir menyalip kenaikan rata-rata gaji aparatur sipil negara (ASN) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Tercatat, rata-rata kenaikan gaji ASN dalam periode 2019-2024 sebesar 6,5 persen.

Berpotensi Ganggu Daya Beli

Menurut kalkulasi Tim Riset IDX Channel, menyadur data BPS, inflasi barang bergejolak per Februari 2024 mencapai 1,53 persen secara bulanan pada Februari lalu. Jika di rata-rata, inflasi barang bergejolak sejak 2019 hingga 2024 mencapai 4,63 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sementara kenaikan UMP pada periode 2019 hingga 2024 rata-rata berada di 5,3 persen.

Sebagai informasi, inflasi kelompok barang bergejolak adalah inflasi barang/jasa yang perkembangan harganya sangat bergejolak. Inflasi komponen ini dominan dipengaruhi oleh kejutan (shock) dalam kelompok bahan makanan, seperti masa panen, gangguan alam (cuaca), atau faktor perkembangan harga komoditas pangan di pasar domestik dan internasional.

Terlepas dari hal itu, lonjakan itu utamanya dipicu oleh kenaikan harga komoditas beras, cabai merah, dan telur ayam ras.

Kenaikan itu merupakan imbas dari gangguan produksi akibat pergeseran musim tanam sebagai dampak fenomena El Nino.

"Terlihat meski pasokannya membaik, persoalannya di suplai, mudah-mudahan membaik," ujar Arief.

Inflasi volatile food juga didukung kenaikan harga pangan dunia juga yang membuat persoalan semakin rumit. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk mengendalikan harga komoditas pangan di pasaran bisa semakin berat.

"Ini bagaimana kita harus kendalikan inflasi secara lebih baik dari waktu ke waktu," ucapnya.

Tercatat, pada Februari 2024 terjadi inflasi yoy sebesar 2,75 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 105,58.

Inflasi ini tercatat naik dibanding Januari 2024 yang sebesar 2,57 persen karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 6,36 persen.

Menurut BPS, tingginya inflasi pada di sektor makanan ini disumbangkan oleh naiknya harga beras hingga cabai dan komoditas bahan pangan lain yang terjadi beberapa waktu ke belakang.

Kenaikan angka inflasi ini sebelumnya juga sudah diprediksi oleh Bank Indonesia (BI) di tengah mahalnya harga komoditas pangan. Dalam pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Februari, BI menyatakan bahwa kenaikan harga beras yang melonjak dapat berkontribusi pada tingkat inflasi di Tanah Air.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Gubernur BI, Aida S Budiman yang mengatakan inflasi beras pada Januari 2024 berdampak 0,64 persen terhadap kenaikan secara month to month dan menjadi penyebab tingginya inflasi volatile foods.

Kondisi ini bisa membuat inflasi kembali terkerek pada Maret 2024, terlebih, menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Bahkan harga beras kini berada di level tertinggi sepanjang sejarah, bahkan melebihi harga pada krisis 1998.

Kenaikan harga beras menjadi kontributor utama sebagai penyumbang inflasi Februari 2024 di sektor makan, kenaikan harga beras memberikan andil inflasi sebesar 0,21 persen, disusul komoditas cabai yang memberikan andil inflasi sebesar 0,9 persen.

Kenaikan bahan pangan yang tak terkendali ini bisa membuat daya beli masyarakat melemah.

"Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu daya beli masyarakat. Jangan sampai kenaikan harga pangan menggerogoti penghasilan mereka," ujar Arief Hartawan.

Ini karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup bergantung dengan pengeluaran rumah tangga.

Lebih lanjut Arief menekankan, pengendalian inflasi pangan menjadi sangat penting. Pasalnya, porsi pengeluaran konsumsi masyarakat untuk kelompok makanan mencapai 33,7 persen.

"Bagian volatile food ini bahan kebutuhan pokok masyarakat," katanya. Saat ini, inflasi volatile food tercatat masih tinggi.

Jika dilihat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2023 mencapai 5,04 persen yoy, sedikit di atas target pemerintah sebesar 5 persen.

Penyumbang utama pertumbuhan ini bahkan dari peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi.

Konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tumbuh 4,82 persen di 2023.

Ini kenaikan upah minimum dan bantuan sosial pemerintah menjadi faktor pendorong utama peningkatan konsumsi rumah tangga. Namun, jika tidak diimbangi dengan kontrol atas harga pangan, maka pendapatan masyarakat akan terserap hanya untuk kebutuhan pangan. (ADF)

SHARE