Jelang Pengumuman Suku Bunga The Fed, ‘The Volcker Shock’ Bakal Terulang?
Akankah sejarah inflasi AS terulang seperti 1980-an ketika The Fed terus menaikkan suku bunga?
IDXChannel - Sejarah inflasi negeri Paman Sam dan kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserves (The Fed) selalu menarik untuk diikuti. Pasalnya, negara satu ini menjadi patron utama ekonomi dunia.
Apa yang terjadi di AS, sedikit banyak akan berdampak bagi banyak perekonomian banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pekan ini mata dunia sedang tertuju pada the Fed. Jelang pengumuman suku bunga hasil dari rapat Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini yang berakhir pada Kamis (22/9) dini hari waktu Indonesia, pasar sedang harap-harap cemas. Saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan ke level 75 basis poin.
Melansir Bloomberg, Senin (19/9/2022), kemungkinan langkah kebijakan yang lebih agresif akan diambil The Fed. Investor bahkan memperkirakan sekitar 24 persen kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga ke level 100 basis poin.
Tercatat kenaikan suku bunga The Fed sudah terjadi empat kali sepanjang tahun 2022 ini. Bank Sentral ini telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang semester pertama 2022.
The Fed mulai menaikkan suku bunga acuan 25 bps pada kisaran 0,25-0,5% pada Maret 2022. Pada Mei 2022 kenaikan menyentuh level 50 bps ke kisaran 0,75-1% karena peningkatan tekanan inflasi AS.
Bulan berikutnya, Juni 2022 The Fed lanjut menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps ke kisaran 1,5-1,75%. The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis points (bps) ke kisaran 2,25%-2,5% pada akhir Juli 2022. (Lihat tabel di bawah ini)
'The Volcker Shock' Bakal Terulang?
Siyal kenaikan kali ini tak terbendung setelah pengumuman inflasi AS pada bulan Agustus masih menyentuh angka 8,3 persen.
Angka ini menurun dibanding bulan Juni yang menyentuh level tertinggi 9,1 persen, tetapi masih belum sesuai ekspektasi pasar. (Lihat tabel di bawah ini)
Banyak analis ekonomi menyebut Ketua The Fed, Jerome Hayden "Jay" Powell, sebagai ‘titisan’ Paul Volcker jika tetap ‘ngotot’ menaikkan suku bunga lagi.
Mengutip Wall Street Journal (WSJ), dalam pidatonya, Powell menyampaikan pidato singkat yang tidak biasa dengan pesan sederhana, “The Fed akan menerima resesi sebagai harga untuk memerangi inflasi”.
Amerika pernah mengalami krisis parah di era 1980-an. Tepatnya pada tahun 1981, AS berada di tengah-tengah kondisi brutal akibat inflasi dua digit dalam waktu kurang dari satu dekade. Selama tahun 1980 -an, rezim kebijakan moneter The Fed ini dikenal sebagai "Volcker Shock."
Paul Volcker, ketua The Fed saat itu, diyakini sebagai ‘santo’ berakhirnya krisis. Volcker mengendalikan inflasi melalui kebijakan setara kemoterapi dengan merekayasa dua resesi besar, untuk memangkas pengeluaran dan memaksa inflasi ke level bawah.
Inflasi periode 1978-1982 menjadi yang terburuk bagi AS dalam beberapa dekade. Karena The Fed memilih kebijakan menaikkan suku bunga secara agresif.
Sebelum 1965, inflasi AS dalam stabil selama bertahun-tahun di bawah 2 persen. Namun, kebijakan Presiden Lyndon Johnson dan sekutunya di Kongres menyebabkan pembengkakan pengeluaran, salah satunya untuk pendanaan perang Vietnam dan agenda anti-kemiskinannya. Pemerintahan Johnson yang tidak berniat menahan pengeluaran mendorong inflasi ke level yang lebih tinggi.
Sepanjang periode itu, harga gas meroket, tingkat hipotek atau mortgage sangat tinggi dan membuat banyak kelas menengah tidak bisa membeli rumah. Pasar tenaga kerja melemah dengan pengangguran di atas 7 persen. Mendorong bangsa itu terjerembab dalam krisis finansial penuh.
Segalanya menjadi lebih buruk di bawah Richard Nixon. Perang Vietnam masih berlangsung dan mahal seperti sebelumnya, tetapi juga pada tahun 1971, Nixon memutuskan untuk mengakhiri sistem "konvertibilitas emas" dengan dolar.
Setelah beberapa kenaikan suku bunga sederhana pada bulan pertama masa jabatannya, Volcker mengadakan pertemuan kejutan pada 6 Oktober 1979, dan mengatur The Fed pada jalan baru dengan kebijakan moneter yang lebih ketat. The Fed mengumumkan akan mengeluarkan kebijakan pengendalian yang tegas akibat perubahan jumlah uang yang beredar.
Di bulan itu, suku bunga The Fed ditetapkan sebesar 13,7 persen. Pada bulan April tahun berikutnya, melonjak 4 poin penuh menjadi 17,6 persen dan mendekati 20 persen pada 1981. Pada Juli 1981, Volcker, menaikkan suku bunga ke level yang belum pernah disentuh sebelumnya. Fed Funds Rate (FFR) efektif telah mencapai 22,36 persen.
Pengetatan Volcker memperlambat aktivitas ekonomi sehingga pada Januari 1980, AS resmi masuk jurang resesi. Tetapi suku bunga Fed sebenarnya mulai turun tajam setelah April tahun tersebut. The Fed mengencangkan kebijakan lagi setelah itu dan memicu resesi lain pada Juli 1981.
Resesi ini jauh lebih buruk dibanding yang pertama. Sementara pengangguran menempati puncaknya di angka 7,8 persen selama resesi 1980 dan terus melesat menjadi 10,8 persen pada Desember 1982.
Namun langkah Volcker terbukti berhasil melawan inflasi. Kondisi ekonomi AS berangsur membaik dengan tingkat kenaikan CPI turun signifikan di akhir 1986.
Ketika Volcker meninggalkan The Fed pada Agustus 1987, inflasi turun menjadi 3,4 persen dari puncaknya 9,8 persen pada 1981. Setelah pada resesi pertama Volcker gagal menurunkan harga, AS tidak pernah mengalami inflasi di atas 5 persen sejak September 1983 hingga 2022.
Kali ini, mengutip WSJ, Powell dianggap meniru langkah Volcker dalam menangani ancaman inflasi negeri Paman Sam.
Powell sempat mengutip Volcker, yang menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi menyentuh level dua digit. “Kita harus terus melakukannya sampai pekerjaan selesai,” kata Mr. Powell, mengacu pada judul otobiografi Mr. Volcker tahun 2018, “Keeping At It.”
“Jam terus berdetak,” kata Powell pada konferensi pada 8 September. Semakin lama inflasi tinggi, semakin besar risiko yang akan dihadapi AS.
“Bahwa publik akan mulai secara alami memasukkan inflasi yang lebih tinggi ke dalam pengambilan keputusan ekonominya. Dan tugas kami adalah memastikan itu tidak terjadi,” kata Powell.
Namun, akankah langkah Powell berhasil di tengah tekanan global yang lebih besar ketimbang tekanan politik dalam negeri seperti di era Volcker?
Dalam ulasan WSJ, The Fed terlihat kesulitan dalam memperkirakan bagaimana ekonomi akan pulih dari pandemi. Kondisi ini diperparah karena adanya invasi Rusia ke Ukraina dan serangan balik Barat yang menaikkan harga energi, pupuk, dan komoditas lainnya.
Tekanan pasar dan kondisi geopolitik membuat sejumlah ekonom pesimistis Powell dapat mengatasi resesi dengan cara Volcker. (ADF)