ECONOMICS

Jokowi Protes Likuiditas Uang Kering sepanjang 2023, Kredit UMKM Jalan di Tempat

Maulina Ulfa - Riset 01/12/2023 15:31 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti keringnya perputaran uang di Indonesia sepanjang 2023 dan dikhawatirkan hal ini bisa mengganggu sektor riil.

Jokowi Protes Likuiditas Uang Kering sepanjang 2023, Kredit UMKM Jalan di Tempat. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti keringnya perputaran uang di Indonesia sepanjang 2023 dan dikhawatirkan hal ini bisa mengganggu sektor riil.

Di depan ratusan bankir yang menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (29/11/2023), Jokowi mengatakan dia sudah mendapat keluhan dari pengusaha mengenai keringnya peredaran uang di masyarakat. 

Dia pun meminta agar perbankan tidak menghabiskan likuiditas untuk membeli instrumen yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), seperti Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan  sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI).

Presiden asal Solo ini menekankan bahwa sebaiknya kredit terus diguyurkan kepada pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

"Meskipun kalau kita lihat kadang-kadang di bawah tadi saya sampaikan ke Pak Gub, Pak Gubernur saya mendengar dari banyak pelaku usaha ini kelihatannya kok peredaran uangnya makin kering. Saya mengajak seluruh perbankan harus prudent harus hati-hati tapi tolong lebih di dorong lagi kreditnya, terutama bagi umkm," kata Jokowi.

Likuiditas Perekonomian RI dan Sejumlah Tantangannya

Berdasarkan data BI, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2023 masih tumbuh positif.

Meski demikian, posisi M2 pada Oktober 2023 memang sedikit melambat, tercatat sebesar Rp8.505,4 triliun atau tumbuh 3,4 persen secara tahunan (year on year/yoy), setelah pada bulan sebelumnya tumbuh sebesar 6 persen yoy. Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 7,8 persen yoy. (Lihat grafik di bawah ini.)

Jokowi menglaim, anjloknya uang beredar juga diperparah dengan pertumbuhan kredit yang jalan di tempat serta Dana Pihak Ketiga (DPK). 

Dari sisi kredit, perkembangan M2 pada Oktober 2023 juga masih ditopang oleh perkembangan penyaluran kredit. 

Penyaluran kredit pada Oktober 2023 tumbuh sebesar 8,7 persen yoy dan relatif stabil dibandingkan bulan sebelumnya.

Jika merujuk data BI, perkembangan DPK per Oktober 2023 juga tercatat tumbuh 3,9 persen yoy, melemah dari bulan sebelumnya yang tumbuh mencapai 6,4 persen yoy. Nilai DPK per Oktober 2023 tercatat mencapai Rp7.982,3 triliun yang dipengaruhi oleh pertumbuhan DPK perorangan 4,4 persen yoy dan DPK Korporasi yang tumbuh 4,3 persen yoy.

Penyaluran kredit tercatat sebesar Rp6.862 triliun dan cenderung stabil dibandingkan bulan sebelumnya. Perkembangan ini sejalan dengan pertumbuhan penyaluran kredit pada debitur perorangan yang tumbuh 9,4 persen yoy dan debitur korporasi yang bertumbuh 8 persen.

Berdasarkan jenis penggunaan, pertumbuhan penyaluran kredit Oktober 2023 juga ditopang untuk Kredit Modal Kerja yang tumbuh 8 persen yoy, melambat dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 8,3 persen yoy.

Kredit Investasi juga tercatat melambat 9,4 persen per Oktober 2023 setelah di bulan sebelumnya tumbuh 9,8 persen. Sementara kredit konsumsi tumbuh 9,1 persen di bulan yang sama setelah pada September 2023 tumbuh 8,4 persen yoy.

Kredit konsumsi ini mayoritas digunakan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor, hingga Kredit Multiguna.

Sayangnya, kredit UMKM memang tak terlalu berubah banyak pada Oktober. Ini terlihat dari penyaluran kredit kepada UMKM yang tumbuh 8,3 persen yoy, naik tipis dibanding September 2023 yang mencapai 8,2 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)

 

Tak hanya itu, suku bunga kredit dan bunga simpanan juga tercatat meningkat. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit sebesar 9,37 persen, lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya 9,36 persen. Sementara suku bunga simpanan berjangka meningkat pada seluruh tenor yaitu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan masing-masing sebesar 4,43 persen, 4,82 persen, 5,11 persen, 5,17 persen dan 5,48 persen pada Oktober 2023.

Di September, masing-masing suku bunga masih tercatat sebesar 4,32 persen, 4,73 persen, 5,02 persen, 5,13 persen, dan 5,45 persen. Ini artinya, rezim suku bunga tinggi masih membebani masyarakat dan konsumen secara luas.

Menariknya, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) terkontraksi sebesar 8,8 persen yoy, setelah tumbuh sebesar 13,2 persen yoy pada September 2023.

Ini semakin menegaskan lambatnya belanja pemerintah jelang kuartal akhir tahun ini. Padahal, selama ini belanja pemerintah merupakan salah satu pendorong perekonomian nasional. Ini mengingat RI masih menganut sistem Keynessian dalam perekonomian domestiknya.

Mengacu pada ide pakar ekonomi, John Maynard Keynes, yang menyatakan bahwa salah satu unsur dalam pendapatan nasional yang digambarkan sebagai permintaan agregat adalah pengeluaran pemerintah.

Keynes menyebutkan bahwa pendapatan nasional suatu negara adalah hasil penjumlahan dari konsumsi (consumption), investasi (investments), belanja pemerintah (government expenditure), serta nilai netto dari ekspor (export) dan impor (import).

Jika merujuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya 4,94 persen secara tahunan pada kuartal ketiga 2023 jika dibandingkan dengan kuartal ketiga 2022.

Secara kuartalan, ekonomi RI juga hanya naik 1,6 persen ketimbang kuartal kedua 2023. Angka ini lebih rendah dari prediksi konsensus sebesar 1,7 persen dan pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 3,86 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penurunan laju pertumbuhan ekonomi ini terutama karena perlambatan konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan ekspor di tengah pelemahan harga komoditas. Tercatat, belanja pemerintah terkontraksi 3,76 persen pada Q3 2023. Di kuartal sebelumnya, belanja pemerintah tumbuh hingga 10,57 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Bahkan, pemerintah menetapkan rancangan APBN 2024 yang menekankan pada belanja konsumsi. Anggaran tersebut dirancang untuk mencapai pertumbuhan PDB sebesar 5,2 persen dengan inflasi sekitar 2,8 persen.

Belanja pemerintah juga diproyeksikan naik 5,8 persen yoy menjadi Rp 3,304 triliun pada 2024. Mengingat, APBN 2024 dirumuskan dengan bayang-bayang perlambatan ekonomi global yang bisa saja dampaknya semakin dirasakan di tahun depan. (ADF)

SHARE