Jokowi sampai Bahlil Ramai-Ramai Bilang 2023 ‘Gelap’, Ada Apa Gerangan?
Di tengah indeks kepercayaan konsumen (IKK) Tanah Air yang sedang membaik, narasi akan resesi 2023 bisa saja menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran secara luas.
IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sebuah kesempatan pada Senin, (3/20) mengatakan kepada awak media kondisi ekonomi dunia bakal gelap tahun depan.
Menurutnya, dunia sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja imbas sederet lembaga keuangan internasional menyebutkan tahun depan keadaan ekonomi akan makin gelap.
“Ekonomi dunia tahun depan, memang semua lembaga-lembaga internasional menyampaikan dalam posisi yang tidak baik. Dalam posisi yang lebih gelap," katanya, dikutip Senin (3/10/2022).
Di kesempatan konferensi pers APBN KiTa, Senin (27/9), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga menyebutkan ekonomi dunia akan masuk jurang resesi di tahun 2023. Kondisi ini seiring tren kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan sebagian besar bank sentral di dunia secara bersamaan.
Menurut Sri Mulyani, proyeksi resesi ekonomi di tahun depan mengacu pada studi Bank Dunia yang menilai kebijakan pengetatan moneter oleh bank-bank sentral akan berimplikasi pada krisis pasar keuangan dan pelemahan ekonomi.
"Kalau bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023," ujar Sri Mulyani.
Teranyar, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga menyebut kondisi ekonomi global pada tahun depan 2023 diramal buruk. Kondisi ini menurutnya bakal berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara maju, apalagi negara berkembang.
"Ekonomi global tahun 2023 kalau boleh izinkan saya untuk mengatakan gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang cerah dihadapan kita," kata Bahlil dalam Orasi Ilmiah di Universitas Cendrawasih melalui kanal YouTube BKPM, Kamis (6/10/2022)
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Wahyu Agung Nugroho juga mengingatkan hal serupa. Ia menyampaikan BI telah berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengukur langkah-langkah mitigasi resesi global.
Wahyu menegaskan, BI pun tak menampik memang prospek ekonomi global 2022 ke 2023 akan menurun lebih rendah dari perkiraan BI.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2022 dikisaran 2,9 persen, namun untuk 2023 diprediksi kemungkinan hanya tumbuh dikisaran 2,8 - 2,7 persen.
Haruskah Jadi Pesimis?
Berbagai ungkapan para pejabat negara tersebut seolah tak mencerminkan optimisme yang telah mereka tuangkan dalam Rencana Anggaran Belanja Negara (APBN) 2023 yang telah disahkan beberapa waktu lalu.
Arsitektur APBN 2023 disebut pemerintah dirancang dengan semangat optimisme namun tetap waspada.
Pertumbuhan ekonomi mencapai 5,44 persen pada triwulan II 2022 serta inflasi yang terjaga pada level moderat 4,94% per Juli 2022, disebut Kemenkeu menjadi landasan optimisme dalam merancang kebijakan fiskal tahun depan.
Dalam APBN 2023, anggaran belanja negara mencapai Rp3.061,2 triliun yang meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.246,5 triliun atau turun dari outlook tahun 2022 yang sebesar Rp.2.370 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp814,7 triliun.
Sinyal pesimis dari pemerintah tampaknya perlu lebih sedikit ‘direm’ agar tidak terjadi kepanikan di tengah masyarakat.
Jika merujuk pada indeks kepercayaan konsumen (IKK), Indonesia tercatat naik 1,5 poin menjadi 124,7 pada Agustus 2022 dari Juli 123,2, di tengah inflasi yang meningkat dan kondisi global yang disebut ‘suram’. Ini menjadi sinyal positif bagi perekonomian nasional.
Dari enam sub-indeks utama yang disurvei oleh Bank Indonesia (BI), semua poin menunjukkan sedang mengalami kenaikan.
Di antaranya, penilaian kondisi ekonomi saat ini naik 0,8 poin menjadi 111,7, penilaian optimism pendapatan saat ini naik 1,6 poin menjadi 119,8, pandangan positif prospek ekonomi juga naik 2,2 poin menjadi 137,7, ketersediaan lapangan kerja dibandingkan hingga enam bulan lalu naik 0,3 poin menjadi 112,2, dan ekspektasi ketersediaan pekerjaan naik 1,7 poin menjadi 136,2.
Hanya pada indeks ekspektasi pendapatan untuk enam bulan ke depan sedikit melemah turun 0,1 poin menjadi 138,2. Adapun tren kenaikan indeks kepercayaan konsumen ini dimulai sejak April 2022 setelah sebelumnya turun ke level 111 pada bulan sebelumnya. (Lihat tabel di bawah ini)
Ini mengindikasikan pemulihan kondisi ekonomi pasca Covid-19 direspon positif oleh masyarakat luas.
Dengan adanya semacam warning yang kurang menggembirakan di atas terkait resesi tahun depan, tentu hal ini akan berdampak buruk bagi kepercayaan konsumen ke depan.
Belajar Dari Krisis 2008
Setidaknya, Indonesia telah mengalami enam krisis ekonomi. Dua krisis parah terjadi pada pertengahan 1960-an, dua krisis ringan pada 1980-an, satu krisis 1997-1998, ditambah krisis keuangan global pada 2008.
Dampak krisis keuangan global 2008 tercermin dari beberapa indikator di Indonesia, seperti depresiasi nilai tukar dan penurunan pasar saham. Dua ukuran itu masih belum terlalu terasa saat ini di Indonesia, meskipun beberapa negara sudah merasakannya.
Untuk menyebut kasus teranyar dampak dari era suku bunga tinggi, Jepang, misalnya, nilai tukar yen terhadap dolar sempat jeblok ke level terendah. Juga ada Inggris yang bursa sahamnya juga terdampak wacana kebijakan pemotongan pajak rezim Liz Truss.
Ekonom dan mantan Menteri Keuangan era SBY, Chatib Basri dalam Tale of Two Crises: Indonesia's Political Economy menjelaskan, kenapa Indonesia berhasil lolos dari krisis keuangan 2008.
Nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga 30% pada akhir 2008, sedangkan Indeks Pasar Modal Indonesia (IHSG) mengalami pelemahan hingga 50% di tahun yang sama. Pertumbuhan kredit perbankan juga mengalami penurunan signifikan dari 32% menjadi hanya 10%.
Selain itu, kepercayaan perbankan menurun, terlihat dari mengecilnya ukuran pinjaman antar bank, turun 59,3% menjadi Rp83,8 triliun dari Rp206,0 triliun pada Desember tahun sebelumnya di akhir 2008.
Keinginan perbankan untuk memperluas basis pendanaan, ditambah lagi dengan kenaikan suku bunga antarbank, menambah tajamnya persaingan antarbank.
Menurut Chatib Basri, Indonesia selamat dari krisis keuangan global berkat dua faktor, yakni kebijakan yang baik dan keberuntungan.
Beberapa kebijakan pemerintah berhasil membendung dampak krisis 2008 di antaranya kebijakan moneter dengan menekan suku bunga menjadi 300 basis poin dari 9,5 persen menjadi 6,5 persen. Likuiditas juga dilonggarkan.
Di sisi kebijakan fiskal, pemerintah berfokus pada stimulus fiscal, defisit anggaran diperbesar dan pajak diturunkan.
Di sisi perbankan, regulasi untuk sektor ini relatif diperketat. Nilai non performance loan (NPL) ratio atau rasio kredit macet diatur kurang dari 4 persen, Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai 77 persen, dan CAR atau rasio kecukupan modal untuk mengatasi risiko kerugian sekitar 17 persen.
Penjaminan simpanan meningkat dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar per rekening. Rezim perdagangan yang relatif terbuka dan terlindungi. Serta fleksibilitas rezim nilai tukar di mana pelaku ekonomi sudah terbiasa dengan perubahan risiko nilai tukar.
Singkatnya, jika tahun depan memang akan terjadi krisis, setidaknya pemerintah perlu bersiap ekstra lan waspada. Ini demi menjaga progress pemulihan ekonomi setelah dihantam pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. (ADF)