IDXChannel - Sejumlah prediksi dikeluarkan oleh lembaga ekonomi dunia akan ancaman resesi tahun depan. Sebut saja, proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3,2% pada tahun ini dan melambat hingga 2,9% pada 2023.
Selain itu, Bank Dunia mengatakan, negara-negara di kawasan Eropa dan Asia Tengah akan mengalami perlambatan ekonomi signifikan pada 2023 akibat perang Rusia-Ukraina.
Bank Dunia mengatakan produk domestik bruto (PDB) kolektif di kawasan ini diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 0,3% tahun depan.
Dalam laporan pembaruan ekonomi untuk kawasan Eropa dan Asia Tengah yang dirilis pada 4 Oktober tersebut, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan hanya akan menyentuh angka 0,2% di tahun ini.
Teranyar, laporan dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat menjadi 2,5% tahun ini dan turun menjadi 2,2% di tahun depan.
Perlambatan global ini akan berdampak pada PDB riil yang masih di bawah tren pra-pandemi. Kondisi ini menyebabkan kerugian global lebih dari USD17 triliun, setara hampir 20% dari pendapatan dunia.
‘Ramalan’ tentang akan terjadinya resesi global, termasuk Indonesia, di tahun depan menjadi topik perbincangan berbagai media daring.
Namun, benarkah akan ada resesi di 2023?
Negara Berkembang Paling Terpukul?
Perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan mempengaruhi semua semua aspek ekonomi.
“Tingkat pertumbuhan rata-rata untuk negara berkembang diproyeksikan turun di bawah 3%. Angka ini menunjukkan kecepatan yang tidak cukup untuk menopang pembangunan berkelanjutan di masa depan dan akan menekan kondisi keuangan negara dan swasta dan mempersempit lapangan pekerjaan,” tulis laporan tersebut dikutip Rabu (5/10).
Dalam kondisi ini, negara berkembang diproyeksikan yang akan paling sering terkena rentetan utang, ancaman kesehatan, hingga paling terdampak krisis iklim.
Dalam laporan UNCATD, negara berpenghasilan menengah di Amerika Latin dan negara berpenghasilan rendah di Afrika dapat mengalami beberapa penurunan paling tajam tahun ini.
Sementara peningkatan inflasi global juga telah memicu kekhawatiran tentang overheating ekonomi di beberapa negara.
Di sebagian besar ekonomi G20, PDB riil diperkirakan akan berada di bawah tren pra-Covid pada akhir 2023. Hanya Türkiye, Arab Saudi, dan Argentina yang diperkirakan akan menikmati tren kenaikan PDB tahun depan.
Proyeksi Kesenjangan PDB Negara G20 Tahun 2023
Sumber: UNCTAD
Namun kondisi negara-negara G20 ini akan secara bertahap mengalami pemulihan parsial tahun depan, dengan kesenjangan terbesar terjadi di Rusia karena efek negatif perang yang bertahan lama terhadap ekonomi negeri Beruang Merah ini.
Dampak yang paling terasa bagi masyarakat di Tanah Air, di antaranya adalah kenaikan suku bunga. Sebagai contoh, kenaikan ini cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap kenaikan bunga kredit pemilikan rumah (KPR).
Bagi masyarakat yang sudah memiliki tanggungan KPR dan cicilan lainnya, siap-siap tagihan setiap bulan akan membengkak.
Salah satu yang terkenal menaikkan suku bunga secara tajam tahun ini adalah bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserves (The Fed). Kenaikan Federal Funds Rate (FFR) The Fed menuju 75 basis poin (Bps) pada September lalu juga berdampak pada Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Tanah Air yang ikut menaikkan suku bunga jadi 4,25%.
Kenaikan suku bunga The Fed, misalnya, dapat memotong USD360 miliar pendapatan masa depan untuk negara-negara berkembang.
Tingginya bunga ini juga mendorong konsumsi melemah dan harga-harga merangkak naik.
Harga kebutuhan seperti makanan dan energi juga melonjak akibat perang di Ukraina. Dan penguatan dolar memperburuk situasi, menaikkan harga impor di negara-negara berkembang.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri adalah salah satu conton nyata. Ketika suku bunga AS naik, maka nilai tukar dolar akan ikut naik.