ECONOMICS

Kalah Gugatan Nikel, Ini Jejak Polemik RI dengan Uni Eropa dan WTO

Maulina Ulfa - Riset 01/12/2022 18:19 WIB

Keputusan Indonesia melarang ekspor nikel bisa dibilang upaya tekanan balik secara ekonomi terhadap Uni Eropa.

Kalah Gugatan Nikel, Ini Jejak Polemik RI dengan Uni Eropa dan WTO. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Indonesia baru saja mengumumkan kekalahan dalam gugatan larangan ekspor nikel oleh World Trade Organization (WTO).

Adapun gugatan ini diajukan oleh Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor nikel. Gugatan ini ditujukan pada Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan para menteri ekonominya untuk melakukan banding hukum atas kekalahan ini.

"Ekspor bahan mentah sekali lagi meski kita kalah di WTO urusan nikel ini di gugat Uni Eropa kita kalah, tidak apa-apa. Kita sampaikan ke Menteri untuk banding," terang Presiden Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi Tahun 2022, Rabu (30/11/2022)

Sementara menanggapi hal ini, mengutip website resminya, Uni Eropa menyambut baik keputusan WTO yang menegaskan bahwa larangan ekspor Indonesia dan persyaratan pengolahan bijih nikel di dalam negeri melanggar aturan WTO.

Panel WTO disebut mendukung semua klaim Uni Eropa terhadap Indonesia.

Pertama-tama, ditemukan bahwa larangan ekspor Indonesia dan persyaratan pemrosesan bijih nikel dalam negeri, yang digunakan dalam produksi baja tahan karat, tidak sesuai dengan larangan dan pembatasan ekspor WTO yang terkandung dalam Pasal XI:1 GATT 1994.

Selain itu, panel menegaskan bahwa langkah-langkah Indonesia tidak sesuai dengan aturan pengecualian larangan atau pembatasan yang diterapkan sementara untuk mencegah kekurangan pasokan produk-produk penting seperti nikel, sebagaimana tercantum dalam Pasal XI:2(a) GATT 1994.

Panel juga menemukan bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dalam pasal dalam Pasal XX(d) GATT 1994.

Jejak Diskriminatif Uni Eropa dan WTO Serta Perlawanan Indonesia

Sementara sengketa dagang antara Uni Eropa dengan Indonesia juga sempat terjadi menyoal minyak sawit atau crude palm oil (CPO).

Indonesia dan Malaysia mengatakan pembatasan minyak sawit oleh Uni Eropa ini tidak adil dan "diskriminatif" dan mengharapkan WTO untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Indonesia sebelumnya menggugat Uni Eropa (UE)terkait diskriminasi sawit melalui aturan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa pada 2017. Gugatan ini telah terdaftar di WTO dengan nomor kasus DS 593.

Pada awal Juli, anggota parlemen Uni Eropa mengadopsi draf aturan untuk inisiatif ReFuelEU, yang berarti 85% dari semua bahan bakar penerbangan harus "berkelanjutan" pada tahun 2050.

Aturan ini menyebabkan produk minyak sawit dan turunannya asal Indonesia dan Malaysia tidak dapat diterima jika tidak memenuhi ‘standar hijau’ yang ditetapkan oleh Benua Biru.

Mengutip DW, parlemen Eropa bahkan sempat memajukan tenggat waktu penghentian impor minyak sawit terakhir, yang saat ini ditetapkan pada tahun 2030.

Pada saat yang sama, Uni Eropa disebut telah berupaya berdialog dengan eksportir minyak sawit, termasuk melalui pertemuan Komite Kerjasama Gabungan ASEAN-Uni Eropa di Jakarta pada akhir Juni 2021.

Sejak diperkenalkannya kebijakan energi terbarukan di Uni Eropa tersebut, impor minyak sawit ke kawasan ini justru meningkat.

Pada tahun 2021, Uni Eropa mengimpor minyak sawit dan produk turunannya senilai €6,3 miliar atau setara USD6,4 miliar yang sebagian besar digunakan untuk bahan baku biofuel.

Indonesia dan Malaysia masing-masing menyumbang 44,6% dan 25,2% dari impor tersebut.

Impor Uni Eropa dari Indonesia juga tercatat naik 9% di tahun 2021 jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Saat ini, Indonesia tengah menunggu hasil sidang gugatan diskriminasi sawit atas kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation (DR) tersebut.

Keputusan Indonesia untuk melarang ekspor nikel bisa dibilang merupakan upaya tekanan balik secara ekonomi terhadap Uni Eropa.

Indonesia memberlakukan larangan penuh atas ekspor bijih nikel telah berlaku sejak Januari 2020. Sementara pemerintah mewajibkan pelaku usaha untuk mengolah atau memurnikan bahan mentah di Indonesia sebelum diekspor, termasuk nikel.

Langkah-langkah ini dianggap Uni Eropa berlebihan dan ilegal karena akan membatasi akses ke bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi baja tahan karat dan mendistorsi harga bijih pasar dunia.

Uni Eropa menghubungi Indonesia untuk mencoba menyelesaikan sengketa tersebut sebelum meminta konsultasi di WTO pada November 2019. Setelah konsultasi tersebut tidak menghasilkan resolusi, benua Biru langsung menggugat dan meminta pembentukan Panel WTO pada Januari 2021.

Sementara menurut data Komisi Eropa, Indonesia merupakan salah satu mitra dagang barang terbesar ke-31 Uni Eropa. Dalam hal ini,

Larangan ekspor nikel oleh Jakarta bisa dilihat sebagai kartu AS lain yang dimainkan. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya nikel terbesar dunia. Wajar jika pembatasan ekspor akan mengancam negara-negara maju seperti Eropa. (Lihat grafik di bawah ini.)

Menurut Stefan Mayr, ilmuwan senior di Institute for Law and Governance di Vienna University of Economics and Business, semenjak kisruh CPO, sengketa antara Uni Eropa dan Indonesia bukan semata murni alasan penegakan hukum.

"Pilihan yang akan dipilih Uni Eropa jelas bukan bentuk hukum murni," kata Mayr, dikutip DW, (22/7/22).

Terlebih, perang Rusia di Ukraina, yang dimulai pada akhir Februari, telah menambah tekanan pada benua Biru untuk mengamankan pasokan bahan bakarnya, termasuk untuk biofuel.

Jika WTO sekali lagi mendukung Uni Eropa dalam gugatan sawit, posisi WTO sebagai wasit dalam hubungan dagang yang idealnya mengedepankan win-win solusi barangkali perlu dipertanyakan. (ADF)

SHARE