Kaleidoskop 2022: Kelangkaan Minyak Goreng di Negeri Kaya Sawit
Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia pernah mengalami krisis minyak goreng.
IDXChannel – Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia pernah mengalami krisis minyak goreng. Tepatnya pada Januari 2021, harga minyak goreng di pasar retail dan tradisional mengalami lonjakan.
Harga rata-rata nasional minyak goreng pada awal tahun ini ada di kisaran di Rp20.150 per kg. Adapun berdasarkan jenis, harga minyak goreng curah ada kisaran Rp18.650 per kg, semntara kemasan bermerek ada di kisaran Rp20.350 per kg.
Padahal harga tersebut jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan dan berlaku di Indonesia yaitu berada pada kisaran Rp10.500-12.000/kg.
Lonjakan harga di awal 2022 merupakan kondisi yang sebenarnya sudah berlangsung sejak November 2021. Beberapa alasan yang memicu kenaikan harga minyak goreng di awal tahun ini adalah para produsen sawit lebih memilih untuk mengekspor minyak goreng karena dianggap lebih menguntungkan.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyebutkan, faktor pertama penyebab harga minyak goreng meroket di pasar internasional adalah adanya penurunan pasokan bahan baku minyak goreng.
"Terjadi penurunan produksi crude palm oil (CPO) dari Malaysia 8%. Kemungkinan produksi CPO di Indonesia akan turun dari target 49 juta ton mungkin hanya akan hasilkan 47 juta ton," ujar Oke dalam webinar INDEF, Rabu (24/11/2021).
Selain itu ada pula Kanada yang merupakan produsen bahan baku minyak canola juga mengalami penurunan produksi sebesar 6%.
Permasalahan tidak berhenti sampai di sana, adanya krisis energi di beberapa negara seperti China, India, dan negara Eropa juga memicu kenaikan harga CPO.
Kemudian permasalahan terakhir yaitu produsen minyak goreng di Indonesia kebanyakan belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO. Sehingga produsen minyak goreng tergantung pada harga CPO global.
Adapun, entitas produsen minyak goreng di Indonesia berjumlah 435 entitas dan sebagian besar belum terintegrasi dengan kebun sawit.
"Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dipatok di angka Rp11.000. Saat penyusunan HET tersebut, harga CPO masih berkisar antara USD 500-600 per metrik ton," kata Oke.
Larangan Ekspor Sawit Jadi Strategi Pemerintah Selesaikan Lonjakan Harga
Untuk mengantisipasi adanya lonjakan harga di pasaran, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk terus menjaga dan memenuhi ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau.
Kebijakan yang diterapkan mulai 27 Januari 2022 ini diberlakukan dengan mempertimbangkan hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan minyak goreng satu harga.
“Mekanisme kebijakan DMO atau kewajiban pasokan ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor. Nantinya, seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor mereka masing–masing,” Muhammad Lutfi yang saat itu masih menjabat Mendag, dikutip di laman setkab Rabu (14/12/2022).
Lutfi menjelaskan, kebutuhan minyak goreng nasional pada 2022 adalah sebesar 5,7 juta kilo liter. Kebutuhan rumah tangga diperkirakan sebesar 3,9 juta kilo liter, yang terdiri dari 1,2 juta kilo liter kemasan premium, 231 ribu kilo liter kemasan sederhana, dan 2,4 juta kilo liter curah. Sedangkan, untuk kebutuhan industri adalah sebesar 1,8 juta kilo liter.
“Seiring dengan penerapan kebijakan DMO, kami juga akan menerapkan kebijakan DPO yang kami tetapkan sebesar Rp9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp10.300 per liter untuk olein,” ujarnya.
Dengan kebijakan DMO dan DPO tersebut, lanjut Lutfi, di dalam negeri juga akan diberlakukan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng dengan rincian, minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp14.000 per liter. Kebijakan HET ini akan mulai berlaku pada 1 Februari 2022.
Lutfi juga menyampaikan, selama masa transisi yang berlangsung hingga 1 Februari 2022, kebijakan minyak goreng satu harga sebesar Rp14.000 per liter tetap berlaku.
Namun kebijakan ini malah menimbulkan masalah baru, yaitu terjadinya kelangkaan minyak goreng di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Kondisi tersebut berlangsung hampir dua bulan usai kebijakan DMO dan PMO diberlakukan.
Minyak goreng mendadak hilang dari pasaran, yang tersisa hanya minyak goreng curah yang harganya mencapai Rp20.000/kg.
Kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri menjadi ironi tersendiri. Pasalnya, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total produksi minyak sawit Indonesia pada 2021 mencapai 51,3 juta ton.
Berdasarkan data tersebut, jumlah produksi sawit mentah mencapai 46,88 juta ton kemudian terdapat pula sawit kasar 4,41 juta ton. Dari jumlah tersebut 34,23 juta ton minyak sawit Indonesia pada 2021 digunakan untuk ekspor. Sedangkan minyak sawit untuk konsumsi lokal pada 2021 hanya 18,42 juta ton.
Dari angka total tersebut, proporsi minyak sawit untuk konsumsi ekspor mencapai 65%, sedangkan untuk konsumsi lokal hanya 35%.
Karena permasalahan lonjakan harga minyak goreng semakin larut sampai memicu lonjakan inflasi dalam beberapa bulan terakhir, pada April 2022 Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Larangan ekspor minyak goreng berlaku mulai 28 April 2022.
"Saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan," jelas Jokowi dalam Kanal YouTube Sekretariat Presiden Jumat (22/4/2022).
Larangan ekspor di tengah panen untuk pasar ekspor membuat petani kalang kabut karena pabrik minyak sawit tidak lagi menyerap hasil panen dari petani sawit. Ketua DPD Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Bagus Budiantoro mengatakan kondisi petani sawit saat ini sangat menderita dari adanya kebijakan larangan ekspor CPO.
Bagus mengatakan adanya larangan ekspor CPO membuat Tandanan Buah Segar (TBS) tidak banyak terserap oleh perusahaan, karena produksi CPO saat ini berkurang gratis akibat larangan ekspor.
Hal tersebut membuat banyak TBS petani memiliki harga jual yang cukup rendah, yang tidak masuk dengan hitungan biaya produksi sawit itu sendiri. Kalaupun ada angkanya sangat kecil yang membuat para petani kesusahan.
"Harga yang kemarin ditetapkan sebesar Rp4.000-Rp5.000 ribu sekarang jatuh menjadikan Rp1.000, sehingga kami tidak bisa membeli kebutuhan perawatan sawit," ujarnya kepada MNC Portal saat aksi unjuk rasa Apkasindo, Selasa (17/5/2022).
Kerugian petani dari adanya larangan ekspor tersebut mencapai Rp11 triliun. Meskipun pasokan melimpah, nyatanya tidak membuat harga minyak goreng di dalam negeri turun.
Berdasarkan hasil penelusuran di Mei 2022, permasalahan minyak goreng yang terjadi di dalam negeri setengah tahun terakhir terjadi karena adanya permainan ‘mafia’ di dalam instansi pemerintah yang bekerjasama dengan produsen sawit untuk tetap melakukan ekspor di tengah adanya DMO dan PMO.
Setelah lama ditelusuri akhirnya, Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) berinisial IWW dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO.
Dia ditetapkan bersama tiga perusahaan swasta lainnya. Ia dianggap bersalah karena telah memberikan izin ekspor CPO di tengah larangan ekspor dan kelangkaan komoditas minyak di dalam negeri.
"Kami menetapkan tersangka 4 orang pejabat eselon 1 pada Kemendag berinisial IWW, dirjen perdagangan luar Negeri Kemendag telah terbitkan secara melawan hukum persetujuan ekspor terkait CPO dan produk turunannya," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, Selasa (19/4/2022).
Usai adanya temuan di kasus tersebut, dan sudah ada proses hukum yang dilakukan. Harga minyak goreng di pasaran saat ini belum kembali ke harga normal. Kasus ini juga membuat Menteri Perdagangan harus diganti untuk menangani lonjakan harga minyak goreng.
Meski sudah dilakukan pergantian pejabat baru yang dianggap kompeten untuk menangani lonjakan harga, minyak goreng hingga saat ini sebenarnya masih belum turun ke harga normal alias masih ‘mahal’.
(SLF)